May 14, 2015

Buah Kemiskinan

Langit saat itu berwarna kelabu. Gumpalan-gumpalan awan pucat berarak seolah menuju ke arah kami. Aku berdiri bersamanya dengan penuh ragu dan curiga. Tatapanku saling lempar antara bangunan di depanku dan benda yang berada di genggaman tanganku.  Dengan tanda tanya yang berdesakan memenuhi kepala, pada akhirnya kami memberanikan diri untuk memasuki bangunan tersebut.

MUSEUM KEMISKINAN


sebagai Bukti Bahwa Kemiskinan Pernah Hidup di Sini Lalu Tiada



~

Suasana kampungku memang tidak pernah terlalu ramai dan tidak juga terlalu sepi. Orang-orang kampung beramah-tamah sewajarnya. Kendaraan lewat bergantian secara teratur dan tidak ada yang pernah berani membunyikan klakson. Rumah-rumah berjejer rapi dengan halaman yang tamannya selalu dijaga dengan baik. Orang-orang di kampungku tau benar bagaimana menjaga keindahan.

Siang hari yang terik itu aku habiskan bersamanya dengan membaca buku di bawah pos jaga yang di sekelilingnya dirindangi oleh pohon-pohon. Satu-dua burung gereja bergantian hinggap di atas kabel tiang listrik. Kami menikmati keheningan siang itu dan tanpa disadari mengundang kantuk untuk hadir di antara kami. Sampai di suatu ketika Pak Budi datang dari kejauhan dengan langkah yang tergesa-gesa. Ia membawa tas besar yang kepenuhan dan terlihat menggembung tidak wajar di beberapa sisi. Sepatu bootnya yang berhak tebal itu mengusir burung-burung gereja di atasku dan gerak-geriknya berhasil mengusir rasa kantukku.

Langkah-langkah cepat Pak Budi kemudian membuatnya tersandung kerikil yang tidak dilihat mata kakinya dan dengan bantuan angin siang itu, tasnya kemudian juga jatuh dan menumpahkan seluruh isinya. Berbungkus-bungkus buah kemiskinan berserakan dan menggelinding satu persatu. Kami bergegas menghampirinya dan berinisiatif untuk membantunya dengan memunguti satu per satu buah kemiskinan. Sambil memasukkan buah-buah itu ke dalam tas, aku bertanya kepada Pak Budi mau dikemanakan buah-buah itu. Pak Budi bilang bahwa ia mendapat permintaan untuk menjual buah-buah itu ke kampung sebelah dengan harga yang tinggi. Pak Budi mengatakan bahwa ini proyek besar. Ia menamainya dengan ‘menjual peradaban’. Nama yang berlebihan, batinku.

Setelah semua beres Pak Budi mengucapkan terima kasih dan langsung cepat-cepat meninggalkan kami. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh dan beringsut kembali ke pos jaga. Sembari duduk di bibir pos jaga yang terbuat dari bambu itu aku berpaling ke arah pohon kemiskinan.

Mengingatnya aku menghela panjang nafasku

Buah kemiskinan adalah barang yang dapat dibeli dalam sekantong kresek hitam dengan harga yang murah. Pohonnya tumbuh besar tepat di jantung kampung kami. Dahan dan rantingnya kuat serta daunnya yang lebat selalu menjadi favorit kami untuk bersandar di bawahnya. Buahnya yang bulat ranum  berwarna merah sebesar bola kastil dan baunya yang harum selalu menggelitik siapapun yang lewat untuk memetiknya, entah itu untuk dikonsumsi atau dijual kembali.  Kebiasaan ini telah lama kami jalani, padahal para pendiri kampung terdahulu berpesan agar tidak mengganggu pohon kemiskinan bahkan kalau perlu pohon itu ditebang, dicerabut sampai ke akar-akarnya. Buahnya beracun dan akan membawa hama yang besar dan bisa menjadi malapetaka bagi kampung kami. Namun orang-orang di kampungku tidak peduli walaupun mengambil bagian dari pohon kemiskinan adalah sebuah tindakan ilegal. Tidak heran jika Pak Budi sangat bersemangat dan menyesakkan tasnya sebisa mungkin dengan buah miskin sebanyak-banyaknya. Buah yang biasanya dijual dengan harga murah ditawar dengan harga yang mahal. 

Ketika sore datang, sekonyong-konyong seorang pria berambut gondrong dengan pakaian lusuh berlari-lari mengitari pohon kemiskinan. Ia memperingatkan orang-orang kampung betapa berbahayanya pohon kemiskinan dengan histeris. Tidak hanya sampai di situ, pria tersebut kemudian menghampiri setiap rumah dan mengatakan hal yang sama. Hal ini terus berulang sampai fajar hampir tiba keesokan harinya dan tidak ada satupun warga kampung yang berhasil menghentikan pria tersebut. Karena merasa sangat terganggu, orang-orang kampung sepakat untuk membakar pria tersebut di pohon kemiskinan dengan posisi tangan dan mulut yang diikat dengan tali.

Arogansi orang-orang kampung yang merasa paling bertanggungjawab atas keberlangsungan hidup penduduk kampung membawa pria itu menemui ajalnya. Api kemudian menghanguskan pria tersebut dan menjadikannya abu. Menjelang siang api merambat dan mulai membakar daun serta buah kemiskinan. Asap yang ditimbulkannya lalu menuju langit dan membentur awan yang sedang cerah-cerahnya.

Menerima pesan tersebut langit murka. Ia berubah menjadi magenta raksasa yang bercahaya dan menurunkan hujan petir yang tak ada putus-putusnya. Petir menghabisi apa saja yang dilihatnya dan orang-orang kampung berlarian ketakutan. Buah-buah kemiskinan yang jatuh dan menggelinding membakar apapun yang disentuhnya. Langit dan kemiskinan saling bekerja sama mengenyahkan isi kampung. Mereka bahu membahu menghabiskan apa yang sudah dilanggar selama bertahun-tahun.  Orang-orang kampung masuk ke dalam rumah namun rumah tak mampu lagi memberikan perlindungan. 

Aku dan dia ketakutan.

Kami lalu berlari masuk ke dalam ruang bawah tanah yang sudah kami buat beberapa waktu sebelumnya karena kami sadar bahwa kami butuh tempat yang aman untuk bersembunyi dari kebengisan yang terjadi di atas. Sementara itu dari bawah aku mendengar orang-orang kampung berlomba saling keras berteriak. Ada yang memaki, memohon ampun, dan menangis pasrah. Namun satu yang aku paham, mereka semua pada akhirnya yakin bahwa kemiskinan memang beracun!


“Aku tidak pernah memakanmu, buah kemiskinan! Tolong jangan bunuh aku,” isak seorang warga kampung.
“Tapi kamu melihat dan membiarkannya!”
“Aku tidak punya cara lain untuk hidup wahai kemiskinan.”
“Maka kamu lebih baik mati.”

Kami memberanikan diri untuk keluar setelah suasana kembali menjadi hening setelah entah berapa lama. Aku lalu melihat kampungku mati, kehilangan nafasnya. Langit sudah kembali jernih, namun di bawahnya mayat berserakan, serta rumah-rumah yang berubah menjadi remah-remah kekacauan. Sementara itu pohon kemiskinan masih berdiri tegaknya dengan hanya menyisakan satu buah kemiskinan tanpa daun dan dahan di batangnya.

Langit sore itu berwarna kelabu. Gumpalan-gumpalan awan pucat berarak seolah menuju ke arah kami. Aku berdiri bersamanya dengan penuh ragu dan curiga. Tatapanku saling lempar antara bangunan di depanku dan benda yang berada di genggaman tanganku.  Dengan tanda tanya yang berdesakan memenuhi kepala, pada akhirnya kami memberanikan diri untuk memasuki bangunan tersebut.

MUSEUM KEMISKINAN
sebagai Bukti Bahwa Kemiskinan Pernah Hidup di Sini Lalu Tiada

Museum itu kami buat dari tulang orang-orang kampung yang berserakan. Benar kata pendiri kampung dulu, kami seharusnya mencabut kemiskinan sampai ke akar-akarnya. Kami terlalu munafik untuk menjadi manusia modern yang berlaga seperti malaikat dan malah menghabiskan waktu untuk mengabaikan nilai-nilai yang memang seharusnya kami jaga.

Tiba-tiba saja aku dikagetkan dengan rasa panas di sakuku. Buah kemiskinan itu masih hidup! Aku sontak mengeluarkannya dari saku dan melemparnya begitu saja. Buah kemiskinan menatap kami dengan amarah yang begitu membara.

“Aku tidak pernah memakan dan menjualmu, buah kemiskinan. Jangan bunuh kami…”
“Tapi kamu melihat dan membiarkannya. Maka lebih baik kamu mati!”

Sadar waktu kami sudah semakin dekat dan tidak ada waktu untuk lari, aku menatapnya dan memberinya senyuman terbaik yang aku miliki. 

“Hey, aku selalu nyaman bila sedang bersamamu! Harusnya kita ikut berteriak bersama pemuda yang dibakar itu dan tidak membiarkan kemiskinan tumbuh dan menggerogoti kita.”

Aku menatapnya sekali lagi, sepatu karet Converse yang aku beli dari kerjaku memotong dahan-dahan kemiskinan yang mati.