June 26, 2015

19-06-07

Beberapa hari yang lalu saya tertawa terbahak-bahak ketika mengobrol di WhatsApp dengan seseorang yang spesial di masa lalu yang biasa kita sebut mantan. Di hari itu saya melihat kalender dan berusaha mengingat peristiwa apa yang terjadi. Lalu memori saya kembali ke delapan tahun silam. Di tanggal 19 bulan 6 tahun 2007 itu saya dan beliau pernah menjalin hubungan yang romantis.

Spontan saya langsung menghubunginya dan menanyakan apakah ia juga mengingat hal yang sama seperti saya. Katanya, hari itu adalah hari di mana pertanyaannya lewat telepon dijawab oleh saya lewat sms. Kami lalu membahas betapa seringnya kami bertengkar untuk hal-hal yang sepele seperti saya yang harus memanggilnya “yang” dan ia akan sangat marah kalau saya sudah mulai percakapan dengan “gue-elo”. Lalu dia akan sangat sebal kalau saya sudah mulai berbicara “terserah”. Kata-kata “tai” pertama kali dalam hidup saya pun keluar karena saya kesal setengah mati dibohongi hanya karena soal mainannya yang tidak sengaja saya rusakkan.

Kami pernah sama-sama menangis drama di motor setelah sebelumnya saya memutuskannya di warung mi ayam (padahal kejadian itu seingat saya terjadi di warung bubur). Percakapan lalu berlanjut ke “selingkuhannya” saat itu dan betapa saya masih kesal mampus kalo mengingatnya sekarang. Sampai pada akhirnya dia bertanya kenapa saya tidak pernah bercerita soal laki-laki kepadanya. Saya bilang saya masih takut, tidak seperti dia yang sudah merasakan sakitnya diselingkuhi sampai dua kali. Hahahaha! Gimana rasanya? :p

Senang rasanya bisa berbicara dengan bebas dengan mantan, mengenang masa lalu tanpa ada perasaan yang berlebihan. Di saat orang lain sibuk melebih-lebihkan mantan seolah dia adalah barang kadaluarsa yang haram untuk dikonsumsi, kami malah me-najis-kan diri kami sendiri. Kami merasa sama-sama tua, jijik dengan ketololan, drama romantis berlebihan, dan betapa menggelikannya kami berdua saat itu. Delapan tahun yang lalu.

Saya percaya, rasa bisa berubah tapi kenangan akan masa lalu tidak. Betapa kita berusaha sekuat tenaga untuk melupakan seseorang padahal sebetulnya kita tidak melakukan apa-apa. Alih-alih mengesampingkan perasaan, kita justru malah mengingat semuanya dengan baik dan menambah deretan penderitaan. Karena sejatinya, rasa sakit itu ada karena kita yang mengizinkannya. Berapa banyak pasangan yang pada akhirnya putus dan malah jadi bermusuhan dan saling menjelekkan satu sama lain? Dude please, grown up!

Dia bilang, dia belajar banyak dari saya. Katanya, saya adalah salah satu proses pendewasaan dirinya. Saya merasa seperti Celine (re: Julie Delpy di Before Sunset). Di film tersebut, Celine bercerita bahwa semua orang yang pernah menjadi kekasihnya akan menikah setelah putus dengannya dan mantan-mantannya tersebut akan sangat berterimakasih padanya karena telah mengajarkan apa itu cinta.

Saya mendadak melankolis dan dilemma. Dalam diri saya, saya begitu mendambakan hadirnya seseorang, cinta, semacam itu. Namun pada kenyataannya saya mendapat banyak kekecewaan dan pada akhirnya di sisi yang lain, saya tidak begitu percaya.

Saya membayangkan minum teh berdua dengan pasangan saya kelak di setiap pagi ketika berusia 50-an sambil bercumbu dan membahas bobroknya pemerintah. Di malam harinya kami akan sama-sama mengecup kelopak mata masing-masing dan betapa menginginkan pagi datang dan buru-buru kembali bangun untuk memastikan bahwa orang yang tidur bersama kita adalah orang  yang tepat untuk kita cintai. Di hari yang lain saya akan menitipkan anak-anak saya ke rumah orang tua saya karena akan merayakan ulang tahun pernikahan sambil naik gunung. Sementara itu di sisi yang berlawanan, saya memiliki pertanyaan-pertanyaan, apakah benar seseorang akan benar-benar mencintai pasangannya sampai akhir hayatnya tanpa pernah selingkuh di pikirannya sekalipun? Apakah bisa seseorang setia hanya satu orang saja? Apakah bisa seseorang cukup dengan tidur dengan yang itu-itu saja? Apakah mereka tidak risih melihat perut pasangannya akan menggelambir dan membayangkan orang lain yang lebih indah? Memang, kesempurnaan cinta terletak pada ketidaksempurnannya itu sendiri. Dan itulah yang menjadikannya berwarna. Tapi, ah, terlalu manis!

Mantan saya bilang dia menyesal karena telah meninggalkan luka. Menurut saya tidak. Tembok-tembok keraguan ini saya sendiri yang membuatnya. Dia secara kebetulan menjadi perantara. Kita ini seringkali melihat kesalahan orang lain untuk membenarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan diri kita. Kita sering merasa menjadi orang yang paling sok tahu, sok benar, sok paling penting, dan semua ke-sok-an lainnya. Mungkin jika kita melihat lebih dalam ke diri kita, kita akan sadar kenapa orang-orang di sekitar kita memperlakukan kita seperti itu. Dalam kasus ini, saya berharap terlalu banyak dan kecewa terlalu dalam. Dan saya sadar, saya juga membiarkan mantan saya menguasai banyak hal dalam diri saya saat itu sampai saya merasa seperti terdoktrinisasi. Mungkin kita sama-sama lupa, bahwa sepasang kekasih adalah dua individu yang berjalan bersama. Masing-masing punya sesuatu dalam dirinya yang sama-sama harus diperjuangkan. Bukan saling menguasai dan malah mengeliminasi yang lainnya.

Katanya, jangan pernah membuat marah orang yang sabar, kecewanya orang yang setia, dan murkanya orang yang suka tertawa. Tapi kami berdua pernah mengalami itu dan berhasil melewatinya. Saya pernah terluka, saya pernah sakit, saya pernah kecewa, tapi saya tidak pernah kehilangan diri saya, begitupun ia. Saya bangga karena seburuk apapun kenangan yang kami punya, kami tau bahwa hubungan harus tetap berjalan baik apapun itu namanya. Yang berlalu biarkanlah berlalu. Hidup terlalu singkat untuk membenahi kesalahan di masa depan.

Btw, selamat tanggal 19-06-07, wahai masa lalu! :))