Beberapa hari yang lalu saya
tertawa terbahak-bahak ketika mengobrol di WhatsApp dengan seseorang yang spesial
di masa lalu yang biasa kita sebut mantan. Di hari itu saya melihat kalender
dan berusaha mengingat peristiwa apa yang terjadi. Lalu memori saya kembali ke
delapan tahun silam. Di tanggal 19 bulan 6 tahun 2007 itu saya dan beliau
pernah menjalin hubungan yang romantis.
Spontan saya langsung
menghubunginya dan menanyakan apakah ia juga mengingat hal yang sama seperti
saya. Katanya, hari itu adalah hari di mana pertanyaannya lewat telepon dijawab
oleh saya lewat sms. Kami lalu membahas betapa seringnya kami bertengkar untuk
hal-hal yang sepele seperti saya yang harus memanggilnya “yang” dan ia akan
sangat marah kalau saya sudah mulai percakapan dengan “gue-elo”. Lalu dia akan
sangat sebal kalau saya sudah mulai berbicara “terserah”. Kata-kata “tai”
pertama kali dalam hidup saya pun keluar karena saya kesal setengah mati
dibohongi hanya karena soal mainannya yang tidak sengaja saya rusakkan.
Kami pernah sama-sama menangis
drama di motor setelah sebelumnya saya memutuskannya di warung mi ayam (padahal
kejadian itu seingat saya terjadi di warung bubur). Percakapan lalu berlanjut
ke “selingkuhannya” saat itu dan betapa saya masih kesal mampus kalo
mengingatnya sekarang. Sampai pada akhirnya dia bertanya
kenapa saya tidak pernah bercerita soal laki-laki kepadanya. Saya bilang saya
masih takut, tidak seperti dia yang sudah merasakan sakitnya diselingkuhi
sampai dua kali. Hahahaha! Gimana rasanya? :p
Senang rasanya bisa berbicara dengan bebas dengan mantan, mengenang masa lalu tanpa ada perasaan yang berlebihan. Di saat orang lain sibuk melebih-lebihkan mantan seolah dia adalah barang kadaluarsa yang haram untuk dikonsumsi, kami malah me-najis-kan diri kami sendiri. Kami merasa sama-sama tua, jijik dengan ketololan, drama romantis berlebihan, dan betapa menggelikannya kami berdua saat itu. Delapan tahun yang lalu.
Saya percaya, rasa bisa berubah tapi kenangan akan masa lalu tidak. Betapa kita berusaha sekuat tenaga untuk melupakan seseorang padahal sebetulnya kita tidak melakukan apa-apa. Alih-alih mengesampingkan perasaan, kita justru malah mengingat semuanya dengan baik dan menambah deretan penderitaan. Karena sejatinya, rasa sakit itu ada karena kita yang mengizinkannya. Berapa banyak pasangan yang pada akhirnya putus dan malah jadi bermusuhan dan saling menjelekkan satu sama lain? Dude please, grown up!
Dia bilang, dia belajar banyak
dari saya. Katanya, saya adalah salah satu proses pendewasaan dirinya. Saya
merasa seperti Celine (re: Julie Delpy di Before Sunset). Di film tersebut,
Celine bercerita bahwa semua orang yang pernah menjadi kekasihnya akan menikah
setelah putus dengannya dan mantan-mantannya tersebut akan sangat
berterimakasih padanya karena telah mengajarkan apa itu cinta.
Saya mendadak melankolis dan dilemma.
Dalam diri saya, saya begitu mendambakan hadirnya seseorang, cinta, semacam
itu. Namun pada kenyataannya saya mendapat banyak kekecewaan dan pada akhirnya
di sisi yang lain, saya tidak begitu percaya.
Saya membayangkan minum teh berdua
dengan pasangan saya kelak di setiap pagi ketika berusia 50-an sambil bercumbu
dan membahas bobroknya pemerintah. Di malam harinya kami akan sama-sama
mengecup kelopak mata masing-masing dan betapa menginginkan pagi datang dan buru-buru
kembali bangun untuk memastikan bahwa orang yang tidur bersama kita adalah
orang yang tepat untuk kita cintai. Di
hari yang lain saya akan menitipkan anak-anak saya ke rumah orang tua saya karena akan
merayakan ulang tahun pernikahan sambil naik gunung. Sementara itu di sisi yang berlawanan,
saya memiliki pertanyaan-pertanyaan, apakah benar seseorang akan benar-benar mencintai pasangannya
sampai akhir hayatnya tanpa pernah selingkuh di pikirannya sekalipun? Apakah bisa
seseorang setia hanya satu orang saja? Apakah bisa seseorang cukup dengan tidur
dengan yang itu-itu saja? Apakah mereka tidak risih melihat perut pasangannya akan menggelambir dan membayangkan orang lain yang lebih indah? Memang, kesempurnaan cinta terletak pada
ketidaksempurnannya itu sendiri. Dan itulah yang menjadikannya berwarna. Tapi,
ah, terlalu manis!
Mantan saya bilang dia menyesal
karena telah meninggalkan luka. Menurut saya tidak. Tembok-tembok keraguan ini
saya sendiri yang membuatnya. Dia secara kebetulan menjadi perantara. Kita ini seringkali melihat
kesalahan orang lain untuk membenarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan diri
kita. Kita sering merasa menjadi orang yang paling sok tahu, sok benar, sok
paling penting, dan semua ke-sok-an lainnya. Mungkin jika kita melihat lebih
dalam ke diri kita, kita akan sadar kenapa orang-orang di sekitar kita
memperlakukan kita seperti itu. Dalam kasus ini, saya berharap terlalu banyak
dan kecewa terlalu dalam. Dan saya sadar, saya juga membiarkan mantan saya
menguasai banyak hal dalam diri saya saat itu sampai saya merasa seperti
terdoktrinisasi. Mungkin kita sama-sama lupa, bahwa sepasang kekasih adalah dua
individu yang berjalan bersama. Masing-masing punya sesuatu dalam dirinya yang
sama-sama harus diperjuangkan. Bukan saling menguasai dan malah mengeliminasi
yang lainnya.
Katanya, jangan pernah membuat
marah orang yang sabar, kecewanya orang yang setia, dan murkanya orang yang
suka tertawa. Tapi kami berdua pernah mengalami itu dan berhasil melewatinya. Saya
pernah terluka, saya pernah sakit, saya pernah kecewa, tapi saya tidak pernah
kehilangan diri saya, begitupun ia. Saya bangga karena seburuk apapun kenangan
yang kami punya, kami tau bahwa hubungan harus tetap berjalan baik apapun itu
namanya. Yang berlalu biarkanlah berlalu. Hidup terlalu singkat untuk membenahi kesalahan di masa depan.
Btw, selamat tanggal 19-06-07, wahai
masa lalu! :))