August 23, 2014

Persami di Rest Area Papandayan

Papandayan. Gunung dengan ketinggian 2.622 mdpl yang terletak di Garut itu menjadi pilihan ‘liburan’ untuk kami; aku, Adit, Sri, Wanda, Anita, dan Aa ‘Rifqi’ dalam rangka 17-an tahun ini. Sebenernya agak bingung waktu menyusun itinerary, soalnya kita semua belum pernah duduk di satu meja dan ngomongin ‘ini mau naik gunungnya gimana?’ Tapi, show must go on! Jadilah dengan modal sotoy perjalanan ini dapat terlaksana dan Jumat malam kami bertolak dari Jakarta.

Rencana awal naik bis gak jadi karena satu dan lain hal. Akhirnya Adit memutuskan untuk membawa mobil. Aku ke rumah Adit buat mengambil mobil lalu menjemput Anita dan Aa di Bintaro yang sudah menunggu selama berjam-jam dalam kondisi ngegembel (re: ngemper di pinggir jalan, ngegembel dalam arti sebenarnya).  Setelah itu kita menjemput Wanda di daerah Fatmawati yang ngaku kalo dia abis buka mobil orang dan mergokin kalau penghuni di dalamnya lagi ciuman. Gak sopan banget si Wanda ini. Ckckck. Kita terus menjemput Sri di rumahnya di daerah Bekasi yang ujungnya gak jelas di mana. Ketika sampai di rumahnya, muka dia bersinar cerah. Seolah-seolah dia baru aja terbebas dari penjara. Setelah diceramahin sama kakak-kakaknya Sri, jam 11 tepat kita berangkat. Here we go…

Emang dasar anak kota yang cuma modal ‘pengen naik gunung’, baru keluar komplek rumah Sri kita udah mulai nanya-nanya kalo ke Garut caranya gimana. Di Bekasi sendiri pun kita sempet nyasar karena salah baca marka jalan. Akhirnya setelah tanya sana-sini, kami berhasil masuk tol yang tepat untuk satu tujuan: Garut. 

Selama perjalanan ini kami hampir memasuki semua rest area yang ada di tol. Entah itu untuk pipis, ngelurusin kaki, atau nanya-nanya jalan yang benar. Kedudukan Adit sebagai supir di jalan sempat pula digantikan oleh Wanda karena Adit mengantuk. Selama Wanda memegang kendali mobil, dia berhasil membuat kami semua melek dan mengingat Allah dengan ber-istighfar lebih banyak. Alhamdulillah, pada pukul 5 pagi kita sampai di daerah Garut dengan selamat dan menyempatkan shalat shubuh di masjid terdekat lalu kemudian re-packing.

Pukul setengah 7 pagi kami semua sampai di gapura menuju Papandayan. Banyak rombongan pendaki yang terlihat sedang istirahat dan carter-carter mobil pick-up. Kita sendiri masih optimis dapat mencapai pos dengan mobil Kuda Adit. Setelah jalan sekitar 15 menit, jalanan menuju pos mulai rusak, ke sananya jalanan malah tambah rusak lagi. Beberapa kali bemper mobil beradu dengan  kerikil batu-batu jalan yang besar-besar dan lubang yang cukup dalam di sana-sini. Tidak hanya itu, mobil-mobil pick up yang arogan beberapa kali menyalip mobil, entah itu dari belakang atau dari depan. Karena jalanan yang tidak memungkinkan dan ketakutan dari kami akan kondisi yang tidak diinginkan terjadi, akhirnya kami memutuskan untuk naik ojeg (25.000 per motor) agar bisa sampai di pos dan menitipkan mobil Adit di rumah warga terdekat.

Welcome to Papandayan

Setelah melewati jalan yang sangat tidak memanusiakan pantat kami, akhirnya pada jam 8 ojeg yang kami tumpangi berhasil mengantarkan kami ke pos pendaftaran dengan utuh. Di pos pendaftaran atau yang biasa disebut Camp David, aku mendaftarkan kelompok dengan membayar 5.000 rupiah untuk tiap kepala. Setelah itu kami sarapan, stretching asal-asalan dan kemudian berdoa. Perjalanan pun dimulai.

Trek pertama papandayan kental sekali dengan jalanan menanjak dengan batu-batu kecil dan besar serta bau belerang. Di beberapa titik kita bisa melihat kawah yang masih aktif dan bau belerang yang sangat menyengat. Anita mulai kewalahan di beberapa langkah pertama. Maklum dia pendaki pemula dan daypack-nya sangat tidak nyaman. Aku sendiri agak memburu langkah kakiku lebih cepat karena ingin cepat-cepat sampai di tempat yang ada pohonnya. Bau belerang sangat menyulitkanku untuk bernafas.



Aku dan Sri sampai duluan di tempat peristirahatan yang cukup teduh. Menyusul agak lebih lama; Wanda, Aa, Anita dan kemudian Adit yang sudah membawa dua tas. Miliknya dan daypack-nya Anita. Sampai hari ini aku masih kagum dengan pendaki yang bersedia membantu membawakan tas temannya. Seseorang yang mau menanggung beban yang seharusnya tidak ia tanggung. Keren, brok!

Setelah makan Inaco, minum, selfie, dan membagi rata isi tas Anita, akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Trek memasuki hutan dan mulai menurun.

Rule number 1: Kalau ada turunan di gunung, berarti ada? Tanjakkan!

Yak. Kami mulai menuruni jalanan, kemudian melewati sungai kecil, lalu dihadirkan dengan tanjakkan yang cukup panjang. Treknya tidak terlalu lebar dengan kanan-kiri pohon yang cukup rapat. Nafas kami sangat boros di sini saudara-saudara. Di trek ini kami bergantian istirahat dan duduk setiap ada lapak kosong di jalur. Kami mulai mengutuki diri karena sudah tua dan sangat malas berolahraga. Tidak lama kemudian kami keluar dari hutan dan melalui tanjakkan panjang yang baru dengan sinar matahari yang langsung menyengat dan menyoroti setiap langkah. Percayalah, jika kalian ke sini ketika musim kemarau, kalian akan ragu untuk beristirahat dan berusaha untuk jalan secepat mungkin. Huah. Panasnya itu lhooo... ajib!

Beberapa saat kemudian, aku sampai di pos 2 untuk registrasi ulang. Waktu itu baru aku dan Sri yang sampai. Kami mencari-cari spot paling enak untuk istirahat. Sampai akhirnya aku menemukan tempat dengan rumput-rumput tinggi yang tebal. Entah kenapa jiwa Syahrini memasuki ragaku. Aku melepas carrier dan langsung guling-gulingan di atas rumput. I feel free, gaessss. I feel free……… Panas matahari dan tanjakkan yang aku lewati tadi tidak ada artinya lagi jika dibandingkan dengan nyamannya rumput-rumput itu.

Setelah semua personel kumpul dan mendengar dari pendaki lain kalau Camp Salada sudah penuh, entah bagaimana kami memutuskan untuk buka camp di pos 2 dan bukan di Camp Salada, padahal Camp Salada tinggal jalan 20 menit lagi. Memang pemalas dan mudah menyerah sekali kami ini. Ckckck. Kami adalah rombongan pendaki pertama yang membuka tenda di Pos 2 dan nantinya menjadi rombongan terakhir yang membongkar camp di Pos 2. 

Kami pun mulai untuk menata hidup kami di gunung. Urusan tenda dikerjakan oleh kaum pria. Sri mulai mengeluarkan logistik dan menata barang-barang, sementara itu aku dan Anita mulai untuk memasak. Anita mulai memotong-motong sayur dan aku mencuci beras. Aku begitu terpukau dengan kompor unik bentuk bunga matahari mekar yang dibawa Wanda sampai akhirnya kompor itu zonk. Tidak dapat digunakan. Jeng-jeng. Wajah kami menjadi panik. Gak kebayang gimana caranya bisa hidup di gunung tanpa ada kompor (lebay mode: on). Kami menggunakan segala cara yang kami bisa untuk membuat kompor menyala. Aku menyuruh Wanda meniup-niup lubang gas, takut-takut kalau salurannya tersumbat. Wanda mencari solusi ke pos untuk meminta perbaikan dan hasilnya nihil. Adit dan Sri mencari pinjaman kompor, tapi karena mereka berdua cupu dalam hal sosped, hasilnya juga nihil. Sementara itu Aa dan Neng Anita masih terus memotong sosis dan sayur-sayuran.

Menurut Wanda, kompor harus dibongkar. Ia yakin salurannya tersumbat. Satu-satunya benda yang aku tahu yang dapat mengubah nasib kami adalah Victorinox. Akhirnya aku berhasil menemui seorang pendaki yang kemudian menjadi malaikat kami. Aku meminjam Victorinox miliknya, tapi ia tidak memberikannya namun meminta kompor kami. Belakangan aku tau kenapa ia tidak mau memberikannya. Merk pisau lipat miliknya bukan Victorinox melainkan Leatherman yang harganya 1,8 jt. Hmm… lebih mahal dari uang wisuda plus jait kebaya. Mas-mas ini kemudian membongkar kompor kami, ditiup-tiup, menyulapnya, dan kemudia menyala. Waaaa…. Tidak bisa dibayangkan betapa senangnya kami saat itu. Akhirnya kami tidak jadi makan nungget mentah. Di akhir pertemuan ia memperkenalkan namanya sebagai Limar Pendaki Gunung. Terima kasih, Mas Limar.

Pelajaran pertama di hari pertama: cek semua kondisi dan kesehatan perlengkapan camping sebelum memulai perjalanan. Kita gak pernah tau apa yang bakalan terjadi di atas gunung.

Kami lalu kembali ke tenda untuk melanjutkan masak dan kemudian makan. Ada kejadian lucu saat membuat makan siang. Anita meminta Sri untuk menggeprek bawang putih. Dengan sekuat tenaga Sri menggeprek bawang putih dan menjadikan piring plastik sebagai alasnya. Bawang putih tidak hancur, piring plastiknya berantakan. Hahaha!

Makan siang dan cuci-cuci selesai. Kami berencana untuk jalan-jalan sore dan melihat sunset dari undakan yang tidak jauh dari camp. Untuk itu, kami memutuskan tidur siang terlebih dahulu. See? Hidup kami di gunung saat itu sangat menyenangkan! Habis makan lanjut bobo siang.

Setelah bangun dari tidur siang sampai sore, kami bermalas-malas ria di depan tenda. Karena kami adalah pemalas yang cepat lelah dan menyerah, rencana jalan-jalan mencari sunset batal. Ha ha ha. Suasana di sekitar camp menjadi lebih ramai, bahkan menjadi padat. Fyi, di Pos 2 ini kalian bisa menemukan gubukan yang bisa dijadikan mushalla, toilet dua bilik, warung (dalam arti sebenarnya), dan keran air yang menyala dimana-mana. I would like to say: Ini adalah Bumi Perkemahan Cibubur dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.

Malam di gunung dengan taburan bintang adalah keindahan tangan Tuhan yang tidak dapat terlukis bahkan oleh maestro terbaik manapun. Seperti malam-malam di gunung lainnya, malam di Papandayan saat itu adalah malam yang membawa kenangan mendesak keluar, meminta untuk dikenang kembali. Aku merindukan orang-orang yang aku harapkan berjalan bersamaku. Aku merenungkan perjalanan yang aku lalui, dan melucuti satu-satu ego yang sering aku repress. Betapa pemandangan sekelibat yang aku lihat saat itu bisa menghadirkan drama panjang di dalam kepala selama beberapa waktu. Aku mencintaimu, Ya Allah. Pikirku saat melihat kabut mulai memeluk bintang satu per satu.

Naik gunung tanpa romantisme adalah hambar. Di perjalanan kali ini Aa dan Anita adalah bintangnya. Semenjak menapaki trek sampai turun, mereka berhasil membuat kami semua iri sekaligus enek. Malam itu sampai esok harinya Aa dan Anita terus-terusan mengulang percakapan yang sama. “A, sapu tangan neng mana?”, “A, liat kupluk neng gak?”, “Neng, senter Aa mana?”, “Neng, liat sarung tangan Aa gak?”. Sementara itu, sepanjang hari sampai keesokan harinya Adit terus-terusan ngomel, apalagi kalau Sri sudah melakukan kesalahan dan Anita udah mulai engap.

Kami lalu menata tenda lebih baik dan mulai memasak makan malam mewah a la anak gunung pun. Pertama-tama kami membuat agar-agar. Setelah itu aku dan Anita memasak bakso super enak. Kemudian kami menambahkan mi rebus untuk lauk tambahan. Menu selanjutnya kami memasak krim sup ayam. Selama di gunung, Aa adalah spesialis cuci piring dan mengambil air. Ia dengan lihainya menyeka bekas minyak dan sisa-sisa makanan di nesting dengan rumput-rumput di sekitar. Inget! Gak boleh pake sabun pencuci piring ya, guys.

Setelah kenyang, kami memutuskan untuk masuk tenda. Kami memilih untuk berdesak-desakkan dan hanya memakai satu tenda saja agar lebih hangat. Tenda satunya lagi kami gunakan untuk menaruh barang-barang. Keributan lalu berlanjut ketika mencari posisi yang enak di dalam tenda. Entah berapa kali pindah-pindah posisi sampai akhirnya menemukan tempat yang nyaman untuk tidur.

Wanda membuka percakapan dan mengajak kami untuk sharing karena di antara kami belum ada yang berniat tidur. Pertama-tama Aa mulai percakapan dengan ucapan terima kasih. Terima kasih untuk.... terima kasih buat….. terima kasih juga…. Ya begitulah pokoknya. Sharing kemudian disambung oleh Anita, Sri, Aku, Wanda, dan Adit yang kemudian curhat. Di sini kita mulai pembicaraan agak dewasa dengan membahas masalahnya Adit. Kalau bisa disimpulkan, pembicaraan malam itu seputar visi dan misi kehidupan. Intinya kita semua harus punya rencana, tujuan, tau apa yang kita mau, dan yang paling penting kita harus kenal dulu siapa kita. Masalahnya adalah ketika kemauan kita berbenturan dengan maunya orang lain. Hal itu kemudian harus disikapi dengan cara yang paling dewasa menurut masing-masing kita. Dealing with yourself first, before dealing with others. Mungkin kurang lebih gitu.

Jam mulai menunjukkan pukul sebelas malam. Satu per satu dari kami mulai lelah dan memutuskan untuk tidur, tapi tidak dengan mulutnya Wanda. Kita semua diajak ngobrol dan menanggapi apa yang ia bicarakan. Bahkan ketika tidak ada yang menanggapinya berbicara, ia terus saja mengoceh. Karena tidak tahan, akhirnya Sri meminta tukar posisi tidur denganku. Malam semakin larut dan pembicaraan kami semakin kemana-mana. Anita mengeluh kepada Aa bahwa ia tidak bisa tidur karena perutnya bergejolak dan mau BAB. Sri juga keluar tenda untuk pipis, kemudian diikuti Adit yang juga ingin pipis. Mereka berempat keluar tenda sementara aku dan Wanda mengobrol di dalam tenda. Balik dari toilet, mereka berempat membawa cerita lucu. Kejadian Anita BAB di toilet mengeluarkan ritme dan aroma yang tidak biasa dan mungkin akan menjadi unforgettable moment. LOL!

Kami semua bangun pukul setengah 5 pagi dan berencana untuk summit. Jam setengah 6 kami selesai sarapan dengan sandwich isi telur dan shalat shubuh. Lagi-lagi, rencana kami untuk mengejar sunrise gagal. Matahari sudah terlanjur menerangi kami yang masih bergerumul di tenda, padahal semalam habis membuat visi-misi. Apalah arti rencana untuk para pembuat wacana. Pft.

di depan tenda sebelum summit
Jam setengah 8 kami bersiap-siap dengan perlengkapan untuk summit. Setengah jam berjalan, kami sampai di Camp Salada. Camp Salada penuh sekali seperti Camp waktu Piala Dunia di Harpot ke 5. Benar-benar penuh seperti pasar malam. Ada untungnya juga kami menjadi pemalas dan membuka camp di bawah.

Camp Salada
Pelajaran ke dua: Jangan naik gunung pas lagi 17 Agustus. Ramenya gak santai.

Menurut informasi yang didapat, untuk mencapai puncak ada dua jalur. Jalur yang agak curam tapi lebih cepat mencapai puncak atau jalur yang santai tapi memakan waktu yang lebih lama, melewati Hutan Mati. Kami memilih jalur yang pertama. Setelah melewati Camp Salada, kami melewati padang Edelweis kecil dan berputar-putar di sana seperti terjebak dalam labirin selama 15 menit sebelum akhirnya menemukan jalur yang benar. Jalur kemudian mengerucut menjadi satu trek yang sempit dengan undakan yang cukup tinggi untuk kaki seukuranku, langkah-langkah yang mempertemukan lutut dan dagu. Jalur ini dipenuhi dahan dan ranting pohon-pohon tinggi di kanan-kiri. Kami perlu memegang ranting atau mengangkat tubuh kami dengan berpegangan pada dahan-dahan pohon. Jalur ini entah kenapa sangat menyenangkan untukku, tapi tidak untuk Anita. Ia berkali-kali mengatakan, “bentar dulu, Dit, gue engap.” 

Sinar matahari tidak masuk dan menjadikan udara hangat. Ketika berbalik badan, aku melihat Cikuray dan hamparan langit serta awan. Di tengah perjalanan, kami mendengar Indonesia Raya dikumandangkan. Kami ikut menyanyikannya dan ‘upacara’ sambil beristirahat. Satu setengah jam kemudian kami sampai di Padang Edelweis yang luas dan sangat indah. Kami menyempatkan diri untuk berfoto-foto dan membuat persembahan kecil untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada Yayasan AIDS Indonesia (YAI) berhubung kami semua adalah relawan yang sedang melakukan "KIE" di sana.


Happy Birthday Yayasan AIDS Indonesia!

Puas dengan padang edelweis yang luas dan indah, perjalanan kemudian dilanjutkan dengan memasuki hutan. Setengah jam kemudian kami sampai di Hutan Mati. For God Shake, hutan yang sudah kena terpaan lahar saja bisa indah begini jadinya. Aku, Wanda, dan Sri berlari memegang bendera (drama banget) menyongsong awan di depan kami. Kami mengibar-ngibarkan bendera merah putih dan menyelami keindahan Tuhan satu kali lagi. Subhanallah! Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kamu dustakan?!


Hutan Mati
Setelah selesai mengambil foto sebanyak-banyaknya kami memutuskan untuk turun. Di perjalanan turun aku banyak berpapasan dengan para pendaki yang kebanyakan berasal dari Jabodetabek. Dari penampilannya mereka terlihat seperti anak-anak kelas ekonomi ke atas yang ingin mencari pemandangan lain selain di kota dan mengabaikan SOP ketika naik gunung. Running shoes merk Nike, Adidas, dll menghiasi jalur. Mba-mba dengan tongsis yang selalu eksis di tangan tapi malah pakai sandal crocs. Kaki-kaki dengan celana jeans yang ketat dan berteriak-teriak ketika kakinya menyentuh air atau lumpur. Mungkin aku yang iri dengan penampilan mereka sehingga jadinya menulis paragraf nyinyir ini. Mungkin. Tapi, ayolah. Ini gunung. Keamanaan dan keselamatan tetap nomer satu.

Jam setengah 12 kami sudah kembali sampai kembali di camp. Setelah makan siang selesai dan shalat, kami memutuskan untuk packing dan bongkar tenda. Siang itu matahari lagi-lagi bersinar terik dan meninabobokan keinginanku untuk pulang. Malas rasanya menyusuri jalur dan berpanas-panasan kembali.

Sebelum pulang, aku dan Sri menyempatkan diri untuk buang air kecil dan kemudian menemani Anita untuk BAB. Lalu kejadian lucu berikutnya terjadi. Aku berdiri berjaga-jaga di depan bilik toilet dan kemudian, KABOOOM! Waaaa…. aku ditembak Anita dari dalam toilet. If you know what I mean. Bahahahak!

Pukul 3 kami turun dan mulai menapaki trek lagi. Naik-turun-naik-turun. Buka-tutup-buka-tutup-payung. Dan akhirnya sejam kemudian sampai di mess. Huh hah huh hah. Akhirnya sampai juga. Alhamdulillah. 

Kami lalu mencari-cari kendaraan yang dapat kami tumpangi untuk mencapai mobil Adit. Semua mobil pick up yang Wanda cari sudah penuh. Tidak lama kemudian aku menemukan abang ojeg yang mengantarkan kami naik kemarin. Kami pun lalu turun dengan naik ojeg (yang tidak memanusiakan pantat kami). Kemudian kami mengambil mobil Adit yang dititipkan di rumah warga. Jakartaaaaa, kami kembali.....

Dalam perjalanan pulang, Anita dan Aa mentraktir kami makan malam dalam rangka Anniversary mereka yang ke dua tahun. Kami pun makan malam enak di seafood pinggir jalan. Selamat dua tahun Aa-Anita. Semoga nikah dan langgeng!

Adit kemudian mengantarkan kami semua satu per satu sampai rumah masing-masing. Aku sendiri sampai di rumah pukul setengah 3 pagi.

Bye, Papandayan. Terima kasih untuk dua hari-nya yang menyenangkan, geng Persami!

Adit
Wanda
Sri

Aa 'Rifqi'
Anita
Aku
   
Geng Persami Papandayan