March 25, 2014

Mau Naik Gunung!

Gue follow akun @infopendaki di Twitter. Akun tersebut seringkali meretweet mention yang masuk dan menampilkan foto akun-akun yang sedang ‘pamer’ di gunung. Gue sering banget bertanya-bertanya dalam hati, “itu maksudnya apa sih fotonya dipajang-pajang di sosmed gitu? Disebar-sebar pula. Pamer banget sih. Cih!”

Ya kurang lebih begitulah. Gue iri dan cemburu dan kangen dan rindu dan mupeng dan ngiler dan ah, sudahlah. Mau naik gunung lagi pokoknya!

Padahal kalau dipikir-pikir lagi, apa sih enaknya naik gunung? Bawaan berat, ribet pula mesti packing berkali-kali. Naik-turun gunung dengan trek yang beda-beda ujiannya, kadang mudah, kadang sulit (emang ujian hidup lu, brooo?).  Belum lagi cuaca yang gak bisa gitu diprediksi. Makan mesti masak sendiri, pipis susah, BAB ribet, terus pas pulang jadi tambah buluk. Abis itu biasanya pegel gak jelas dan mesti manggil tukang pijet. Halah.

Ya kalo dipikir-pikir emang banyakkan gak enaknya. Mending di rumah nonton Shinchan abis itu lanjut FTV di SCTV sambil makan nasi goreng.

Tapi, gak tau kenapa gunung itu selalu bikin kangen. Pengen terus balik lagi ke sana. Gue gak tau lebih suka yang mana. Proses naik gunungnya kah, keindahan alamnya kah, teman seperjalanannya kah, atau kebahagiaan di atas puncaknya. Yang gue tau gue suka di gunung dan selalu pengen balik lagi.

Dan setiap kali ngeliat akun-akun itu mejeng di @infopendaki, rasanya itu kaya mau minjem carrier terus langsung cabut. Katanya, home is where the heart is. Dan sepertinya hati gue udah tercecer dimana-mana, salah satunya di gunung. And I would like to say that I feel like “I’m home” when I already there. It’s just like you found your bed after getting traffic jam for couple hours or when you get your mother hugs after crying. Menenangkan, membuat nyaman, dan ah, sudahlah. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Lebay? Hahaha. Bodo amat.

Kadang gue mikir, hobi gue ini kesenangan sesaat doang apa gimana. Apa cuma karena gelora anak muda (tsah) atau pengen ikut-ikutan doang. Apa entar keluarga kecil gue bakal suka juga. Apa entar suami gue itu juga suka naik gunung, terus kita prewed sama bulan madunya ke gunung. Terus abis itu ngajak anak camping di gunung. Terus buka camp di rumah sendiri. Terus, ah, sudahlah.

Iya gue pernah, bahkan sering mikir kaya gitu. Gue pernah malahan mikir kalo nanti seserahan gue itu alat-alat buat naik gunung. Lengkap dari carrier sampe tenda. Nanti malem pertamanya bukan di atas kasur tapi buka di tenda di kamar pengantin pake head lamp yang digantungin. Muahaha. Sakit-sakit deh itu badan.

Oh, God. I can’t tell how much I love the mountain. The universe and all of the things works. It’s perfectly beautiful and awesome. Let me know something more beautiful in this world beside the beauty of the world itself. It’s fuckin awesome. And mountain deserve it all. You wanna learn about life? Get your carrier and get lost. You’ll find who you are. Because nature is the best teacher I’ve ever had. And he will teach you anything and everything. First of all, how to be a good human. Human with heart, feeling, morality, and love. Oke gue mulai ngawur. Ceritanya lagi latihan nulis bahasa inggris :))

Ya intinya gue iri sama kalian semua yang sedang memamerkan foto-foto kalian bersama si ganteng dengan lekukan-lekukan seksinya. Apalagi foto-foto pas yang ada awan atau kabut atau semburan dari kawahnya. Beuh.

Kalian sombong pokoknya.


Aku iri! Mau naik gunung juga!

March 17, 2014

Kencan di Kafe Gadis

Yang aku tahu, rindu harus disampaikan. Yang tidak aku tahu, adakah cara lain untuk menyampaikannya?


Hai, Gadis.

Ini cangkir ke-129. Semenjak hari terakhir kita bertemu, aku rajin datang ke kafe ini tiap malam minggu. Isi cangkir ini masih sama dengan isi cangkir terakhir kita berbincang di kafe waktu itu. Bedanya, aku meminumnya sendirian kali ini.

Kafe ini biasa, tidak terlalu bagus. Tidak ada yang istimewa selain lampu temaramnya di dalam dan kerlap-kerlip di tamannya. Oh ya, suara kelentung yang berbunyi setiap kali angin datang dan pengunjungnya yang tidak begitu ramai menjadi pilihan kenapa kita suka ke sini waktu itu.

Aku memilih duduk di sofa merah maroon yang berseberangan paling jauh dari bar table dan memesan Espresso, seperti biasa. Di pojok sini dekat dengan speaker kafe dan suara musik yang mengalun lembut selalu menghipnotisku untuk melupakan waktu.

Ordinary People-nya John Legend sedang berputar. Hari ini aku memakai kaos hitam dengan jeans belel dan sepatu Converse hitam buluk, seperti biasa. Aku biasa datang pukul delapan, dan pulang menjelang jam dua belas malam. Saat jalanan mulai lengang oleh perkara-perkara kehidupan. Di saat muda-mudi satu persatu mulai pulang setelah merayakan pertemuan.

Aku mengambil rokok dan mulai menyalakannya. “Ah, sial! Gasnya habis,” batinku. Aku lalu memanggil Bowo, waitress yang biasa membawakan minuman untukku dan meminjam koreknya.

“Pake dulu aja, Mas Donny. Selow aja sama saya mah.” Kata Bowo dengan senyumnya yang sumringah seperti biasa.
Aku lalu membalasnya senyumnya dan tidak lupa mengucapkan terima kasih.

Rokok pertama aku bakar. Aku menghisapnya dalam sambil merebahkan pundak ke senderan sofa. Asap pertama aku hembuskan.

Gadis, aku merindukanmu.

***

Hari itu hari terakhir kita bertemu.

Waktu itu minuman di cangkir sudah aku minum tiga perempat. Sweet Disposition-nya The Temper Trap sedang dimainkan. Dan aku memberanikan diri untuk mengatakan apa yang aku rasakan sebelum cangkir kosong sepenuhnya.

Saat itu aku bilang kalau belakangan aku selalu menunggu kabar darimu. Tanpa disadari, kau datang membawa mimpi-mimpi. Namamu adalah kontak yang aku tunggu kehadirannya di layar handphoneku setiap harinya. Entah itu untuk mengajakmu jalan, berdiskusi soal fisika kuantum yang sangat aku gemari, wajah politikus siapa yang kamu benci hari itu, atau sekedar untuk meminta dibangunkan untuk memenuhi deadline pekerjaanku.

Aku bilang bahwa tanpa sadar aku begitu nyaman berada di dekatmu dan sedikit banyak ingin menjadikanmu pulang dari setiap perjalananku. Kamu tau kan? Home is where the heart is. Dan saat itu aku begitu yakin bahwa dirimu adalah rumah yang aku harapkan untuk menaungiku setelah ini.

Saat itu aku bilang bahwa tanpa sadar aku membayangkan masa depan yang ada kamu di dalamnya. Bagaimana nanti kita akan menikah dan punya banyak keseruan bersama dengan anak-anak kita.

Malam itu, aku mengakui bahwa aku bohong waktu bilang aku masih menantikan adik kelasku itu. Aku bohong waktu bilang masih merindukan perangainya yang menyenangkan. Aku bohong waktu bilang masih ingin menjalin cinta dengannya. Tidakkah kau lihat bagaimana kikuk menyergap ketika aku menyampaikan itu padamu? Oh demi Tuhan, aku yakin kau sadar. Waktu kamu bertanya apakah aku menyukaimu, aku menginjak rem mendadak sampai kemeja merahmu itu terkena tumpahan air mineral.  Dan jawaban-jawaban itu adalah yang terlintas pertama di kepalaku. Aku tidak pandai berbohong, Gadis.

Terlebih, ketika aku berbohong setiap kali aku menertawakan kita. Kau tau? Tawaku nyaring tapi sangat-sangat hambar. Aku tidak suka menjadi pusat perhatian teman-teman kita dan memilih untuk menertawakannya. Dan sekarang aku membenci sikapku yang begitu pecundang saat itu.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah 12 malam. Aku ingat betul, waktu itu Firehouse dengan I Live My Life For You-nya berputar mengiringi pernyataan-pernyataanku.

Aku membakar rokok terakhir malam itu dan menyeruput Espresso terakhir di cangkirku. Saat itu udara di kafe cukup dingin, namun berhasil membuat satu-dua titik keringat di dahiku. Aku menatapmu yang sedang menatap kuku-kuku jarimu. Semenit, dua menit, tiga menit, kamu diam. Entah bagaimana mengatakannya, tapi aku benar-benar menderita saat menantikan jawaban darimu.

Sudahkah aku merusak persabatan yang kita bangun?

Ketika kamu mengangkat wajah, senyuman itu adalah senyum termanis yang terakhir kali aku lihat. Sambil merapikan letak ponimu dan decak air mata di sudut mata, kamu bilang terima kasih. Kamu bilang terima kasih untuk keberanian dan kejujuran yang aku tuturkan. Katamu, waktu ini adalah waktu yang kamu tunggu-tunggu selama ini. Aku menyimpulkan senyum tipis kelegaan.

Dengan lancarnya kamu bercerita bagaimana kamu selalu bergegas membalas setiap apa-apa yang aku sampaikan dan berusaha menarik sedemikian rupa agar percakapan tidak habis karena membosankan. Bagaimana kamu menyebut namaku dalam doa-doa yang kamu langitkan. Bagaimana dengan sabarnya kamu mengelus dada setiap kali aku menceritakan perempuan-perempuan yang menarik perhatianku. Bagaimana kamu menahan rasa untuk tidak mengungkapkan perasaan ini kepada teman-temanmu karena takut hanya kamu yang merasa.

Oh, Gadis. Matamu begitu berbinar menceritakan semuanya. Dan hal itu membuatku merasa aku menjadi semakin bodoh di matamu.

Bowo si waitress datang bertanya apakah mau tambah pesanan dengan senyum sumringahnya itu. Aku bilang aku minta segelas air mineral dan kamu menggeleng sambil tersenyum kecut.

Setelah Bowo berlalu, kamu bercerita bagaimana kamu merasa cukup untuk semuanya sambil menggulung lengan kemejamu sampai ke siku.  

Aku bingung.

Kejadian di mobil saat itu, waktu kamu bertanya apakah aku menyukaimu,  adalah awal sekaligus akhir. Pertanyaan bercandamu saat itu adalah keberanian pertama yang kamu layangkan, akumu. Sesampainya di rumah, kamu berjanji untuk menyudahinya.  Bukan karena menyerah, tapi karena kamu memilih untuk mencintai kita sendirian saja. Bagaimana setelah hari itu kamu minta dikuatkan setiap kali menatap mataku. Menjaga diri untuk tidak lagi menumbuhkan harapan-harapan.     

Oh, Gadis. Demi Tuhan, aku begitu lemas mendengarnya.

Selanjutnya kamu bilang, tanpa sepengetahuanku, kamu mengurus studi lanjutan ke luar negeri di tempat yang kamu idam-idamkan. Dua detik kemudian kamu menelan ludah paksa. Lalu mohon pamit untuk menikah dengan teman kerjamu, Hendra.

Pupus-nya Dewa 19 mengalun dari speaker kafe. Sepertinya mereka semua berkomplot untuk semua drama ini.

Oh, Gadis. Aku tidak menyangka bahwa kamu menyimpan rasa dan rahasia begitu banyak di belakangku. Aku pikir selama ini hanya aku yang terlalu egois menyimpannya. Ternyata kamu lebih pintar menyembunyikan semua dariku. Sebegitu menyakitkankah kejadian di mobil saat itu? 

Lengkap sudah sesalku, Gadis. Kepalaku mendadak pening dan ada gerumulan gejolak di dalam perutku.

Tidak lama setelah itu, kamu izin untuk pamit pulang. Aku memaksa untuk mengantarkanmu ke rumah, tapi kamu menolakknya. Kamu bilang, Hendra akan menjemputmu dan kamu memohon agar aku berjanji untuk tidak mencari dan menghubungimu lagi. Lidahku kelu. Tapi entah mengapa, aku menunduk dan meng-iyakannya.

***

Bagaimana kabarmu sekarang, Gadis? Dari laman Facebookmu, aku lihat gadis kecilmu sedang belajar berjalan. Aku turut berbahagia.  Semoga kebahagiaan selalu menyertai hari-harimu.

Rokok ke tigaku sudah habis. Bowo sudah mulai menaikkan kursi-kursi kafe ke atas meja. Asap terakhir ini aku hembuskan paksa seiring dengan nafas dan beban yang ada di hatiku.

Ciuman perpisahan di kening saat kita terakhir bertemu waktu itu masih terasa sampai hari ini.  Aku minta maaf untuk semua keterlambatan, kebodohan, dan semua kemunafikan.

Tidakkah kamu tahu, Gadis? Pria itu tercipta untuk kuat, tapi entah kenapa hatinya begitu lemah.  Aku telah menemukan seorang perempuan yang melemahkanku, kamu. Satu paket beserta kehilangannya. 

Yang aku tahu, Gadis, rindu harus disampaikan. Yang tidak aku tahu, adakah cara lain untuk menyampaikannya selain berkencan dengan bayanganmu? Kalau merindukanmu adalah sebuah kesalahan, aku memilih untuk tidak lagi mengetahui kebenaran.

Ini sudah jam setengah satu pagi. I Miss You milik Blink 182 sedang dimainkan dan aku rasa aku harus pulang. Cangkirku sudah kosong, jalanan sepertinya juga. Lagi pula, aku masih punya malam minggu yang lain. 

Bye, Gadis.

Will you come home and stop this pain tonight? I miss you.

March 12, 2014

Kamu dan Skripsi

Tulisan ini ditulis di tengah buntunya aku menulis. Iya, aku sedang menulis skripsi. Aku benci untuk bilang kalau aku benci mengerjakan skripsi. Mungkin karena punya perasaan itulah mengapa aku sulit mengetikkan kata-kata ke atas lembar kosong di hadapanku ini. Aku pembaca, bukan penulis. Untuk ke sekian kalinya aku meyakini bahwa kemampuanku menulis tidak sepandai ketika aku membaca. Memang ada pandai membaca? Hmm entahlah.

Di tengah-tengah kebencianku ini, aku teringat kamu. Dua hal dari jenis berbeda yang aku benci sekarang muncul bersamaan. Kamu dan skripsi.

Beberapa tahun lalu, kamu membuatkan aku secangkir coffemix panas dengan takaran yang pas tanpa diminta. Sore ini aku meminum Chocofloat kesukaanku dibuatkan oleh mba-mba McD. Kopi hari itu dan chocofloat hari ini manis, tapi entah mengapa minumanku kali ini terasa lebih hambar.

Aku sedang sendirian di sini, sayang. Berdua dengan skripsi yang mulai membuatku gila. Tidak seperti waktu itu, leluconmu yang membuatku gila. Hari itu di depan pos satpam sekolah sambil menunggu hujan berhenti, kamu menceritakan bagaimana kehilangan remot tv di rumahmu lebih membuat ibumu panik dibandingkan kamu yang tidak pulang seharian. Dengan ekspresi lucu dan jenaka, kamu berhasil mengocok perutku. Sementara hari ini aku menertawakan diriku sendiri karena melakukan sesuatu yang tidak aku suka dan terbelenggu karena tidak punya cara lain untuk menyudahinya.

Semua ketidakpentingan yang aku lakukan hari ini entah mengapa mengingatkanku akan banyak hal. Seperti misalnya hubungan kita. Dulu sepertinya mudah sekali menemuimu di tempat kamu biasa makan mi ayam dan kemudian bertukar cerita. Tapi tidak seperti hari ini. Hari ini sepertinya tercipta antara kita, jarak, dan hati yang semakin menjauh. Aku tidak tau mengapa, tapi beginilah yang aku rasakan. Tidak pernah memiliki nama. Dulu aku bilang nama tidaklah penting. Hari ini aku merasa menjadi orang asing karena tidak memiliki apa-apa selain kenangan.

Aku perempuan. Entah kenapa aku meng-iya-kan teori bahwa aku tidak suka ditanya. Datanglah saja dan buat aku tersenyum. Lalu bisikkan jika semua akan baik-baik saja. Seperti waktu itu.

Jadilah kamu yang utuh, menyenangkan, dan melengkapi. Seperti skripsi yang di ujungnya nanti akan membuatku senang dan melengkapi keutuhanku. 

Aku benci skripsi, tapi aku tidak terlalu membencimu. Ah, sudahlah.