Apapun yang berlebihan itu memuakkan.
Aku benci untuk mengatakan bahwa aku mulai ketergantungan
akan dirimu. Sialnya, itulah kenyataannya.
Aku benci mengingat kita pernah duduk bersama di atas sebuah
batu besar di Gunung Bunder dan melempar pandang ke hamparan pemandangan di hadapan
kita. Bagaimana kita dengan lancarnya berbicara tentang apa-apa impian kita
sambil menonton pertunjukkan tenggelamnya Sang Surya.
Waktu itu kamu bilang kalau kamu ingin menjadi presiden dan
aku menertawakannya. Bagaimana bisa seorang yang jarang bangun pagi mau jadi
presiden. Mau jadi apa negara ini punya presiden seperti kamu. Lalu dengan
tegasnya kamu menjambak rambutku dari belakang dan kemudian aku mencubit perut
buncitmu kencang. Sepertinya kita sama-sama terlatih untuk menyakiti satu sama
lain.
Aku benci mengingat kita pernah gagal menonton lampion
bersama di Candi Borobudur setahun silam. Kala itu, hujan tak henti-hentinya
mengalir seiring dengan doa biksu-biksu yang menggema. Payung-payung menelungkup ke bawah, menatap air
yang mulai menggenang di satu-dua titik. Aku terus-terusan menatap langit dan berdoa
agar hujan berhenti dan lampion naik ke
atas. Keresahan muncul di garis-garis muka dan mulutku yang mulai manyun. Sementara
itu, kamu membuka telapak tanganku dan memintaku menyesapi butiran-butiran
hujan yang jatuh. Aku ingat bagaimana senyummu saat itu membangkitkan senyumku
kemudian.
Saat itu kamu bilang kepadaku agar aku menikmati apa-apa yang
ada dan mulai berhenti mengeluh. Tanganmu
kemudian melingkar di atas pundakku. Saat itu aku tau, tidak perlu ada
kegelisahan lagi. Setelahnya, panitia mengumumkan bahwa acara lampion
dibatalkan. Kamu tau? Aku tidak mengeluh. Aku tersenyum.
Aku benci mengingat hari ini kamu tidak lagi ada di sini, di
sana, ataupun dimana-mana. Aku tidak tahu kemana kamu pergi setelah aku mengusirmu
dari pintu rumah saat itu. Waktu kamu bilang ingin kerja di luar kota dan
berjauhan dariku. Aku marah lalu meledak. Tidak satupun aku menggubris alasan-alasan
yang kamu ajukan , lalu membanting pintu tepat di mukamu yang sedang memohon
pengertian.
Aku benci mengingat fragmen-fragmen mendadak tersusun begitu
rapi di setiap hal yang pernah kita lakukan bersama. Seperti skenario drama yang
sudah terencana dengan baik dan menunggu untuk diputar ulang. Kita ada
dimana-mana. Di sudut-sudut kota yang pernah kita datangi, di balkon belakang
rumahku, di halte bus tempat aku menunggumu menjemput, dan di masjid yang kita
rencanakan sebagai tempat untuk mengikat janji.
Ini hari ke seribu dua puluh tiga. Ini hari ke sekian aku
menjadi pecandu untuk merindukanmu dan bodohnya gengsiku mengalahkan segalanya.
Ini hari ke sekian aku menjadi pemaaf untuk mengampuni dirimu yang sebenarnya
tidak melakukan kesalahan apapun.
Aku benci untuk mengatakan bahwa aku masih mengingatmu. Sialnya,
aku masih menunggu dan mengharapkanmu. Kembali. Ke sini.
Apapun yang berlebihan itu memuakkan. Contohnya, kebencianku
padamu.
No comments:
Post a Comment