February 21, 2014

Aku Benci Mengingatmu

Apapun yang berlebihan itu memuakkan.

Aku benci untuk mengatakan bahwa aku mulai ketergantungan akan dirimu. Sialnya, itulah kenyataannya.

Aku benci mengingat kita pernah duduk bersama di atas sebuah batu besar di Gunung Bunder dan melempar pandang ke hamparan pemandangan di hadapan kita. Bagaimana kita dengan lancarnya berbicara tentang apa-apa impian kita sambil menonton pertunjukkan tenggelamnya Sang Surya.

Waktu itu kamu bilang kalau kamu ingin menjadi presiden dan aku menertawakannya. Bagaimana bisa seorang yang jarang bangun pagi mau jadi presiden. Mau jadi apa negara ini punya presiden seperti kamu. Lalu dengan tegasnya kamu menjambak rambutku dari belakang dan kemudian aku mencubit perut buncitmu kencang. Sepertinya kita sama-sama terlatih untuk menyakiti satu sama lain.

Aku benci mengingat kita pernah gagal menonton lampion bersama di Candi Borobudur setahun silam. Kala itu, hujan tak henti-hentinya mengalir seiring dengan doa biksu-biksu yang menggema. Payung-payung menelungkup ke bawah, menatap air yang mulai menggenang di satu-dua titik. Aku terus-terusan menatap langit dan berdoa agar hujan berhenti dan lampion naik ke atas. Keresahan muncul di garis-garis muka dan mulutku yang mulai manyun. Sementara itu, kamu membuka telapak tanganku dan memintaku menyesapi butiran-butiran hujan yang jatuh. Aku ingat bagaimana senyummu saat itu membangkitkan senyumku kemudian.

Saat itu kamu bilang kepadaku agar aku menikmati apa-apa yang ada dan mulai berhenti  mengeluh. Tanganmu kemudian melingkar di atas pundakku. Saat itu aku tau, tidak perlu ada kegelisahan lagi. Setelahnya, panitia mengumumkan bahwa acara lampion dibatalkan. Kamu tau? Aku tidak mengeluh. Aku tersenyum.

Aku benci mengingat hari ini kamu tidak lagi ada di sini, di sana, ataupun dimana-mana. Aku tidak tahu kemana kamu pergi setelah aku mengusirmu dari pintu rumah saat itu. Waktu kamu bilang ingin kerja di luar kota dan berjauhan dariku. Aku marah lalu meledak. Tidak satupun aku menggubris alasan-alasan yang kamu ajukan , lalu membanting pintu tepat di mukamu yang sedang memohon pengertian.

Aku benci mengingat fragmen-fragmen mendadak tersusun begitu rapi di setiap hal yang pernah kita lakukan bersama. Seperti skenario drama yang sudah terencana dengan baik dan menunggu untuk diputar ulang. Kita ada dimana-mana. Di sudut-sudut kota yang pernah kita datangi, di balkon belakang rumahku, di halte bus tempat aku menunggumu menjemput, dan di masjid yang kita rencanakan sebagai tempat untuk mengikat janji.

Ini hari ke seribu dua puluh tiga. Ini hari ke sekian aku menjadi pecandu untuk merindukanmu dan bodohnya gengsiku mengalahkan segalanya. Ini hari ke sekian aku menjadi pemaaf untuk mengampuni dirimu yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan apapun.

Aku benci untuk mengatakan bahwa aku masih mengingatmu. Sialnya, aku masih menunggu dan mengharapkanmu. Kembali. Ke sini.

Apapun yang berlebihan itu memuakkan. Contohnya, kebencianku padamu. 

No comments: