March 17, 2014

Kencan di Kafe Gadis

Yang aku tahu, rindu harus disampaikan. Yang tidak aku tahu, adakah cara lain untuk menyampaikannya?


Hai, Gadis.

Ini cangkir ke-129. Semenjak hari terakhir kita bertemu, aku rajin datang ke kafe ini tiap malam minggu. Isi cangkir ini masih sama dengan isi cangkir terakhir kita berbincang di kafe waktu itu. Bedanya, aku meminumnya sendirian kali ini.

Kafe ini biasa, tidak terlalu bagus. Tidak ada yang istimewa selain lampu temaramnya di dalam dan kerlap-kerlip di tamannya. Oh ya, suara kelentung yang berbunyi setiap kali angin datang dan pengunjungnya yang tidak begitu ramai menjadi pilihan kenapa kita suka ke sini waktu itu.

Aku memilih duduk di sofa merah maroon yang berseberangan paling jauh dari bar table dan memesan Espresso, seperti biasa. Di pojok sini dekat dengan speaker kafe dan suara musik yang mengalun lembut selalu menghipnotisku untuk melupakan waktu.

Ordinary People-nya John Legend sedang berputar. Hari ini aku memakai kaos hitam dengan jeans belel dan sepatu Converse hitam buluk, seperti biasa. Aku biasa datang pukul delapan, dan pulang menjelang jam dua belas malam. Saat jalanan mulai lengang oleh perkara-perkara kehidupan. Di saat muda-mudi satu persatu mulai pulang setelah merayakan pertemuan.

Aku mengambil rokok dan mulai menyalakannya. “Ah, sial! Gasnya habis,” batinku. Aku lalu memanggil Bowo, waitress yang biasa membawakan minuman untukku dan meminjam koreknya.

“Pake dulu aja, Mas Donny. Selow aja sama saya mah.” Kata Bowo dengan senyumnya yang sumringah seperti biasa.
Aku lalu membalasnya senyumnya dan tidak lupa mengucapkan terima kasih.

Rokok pertama aku bakar. Aku menghisapnya dalam sambil merebahkan pundak ke senderan sofa. Asap pertama aku hembuskan.

Gadis, aku merindukanmu.

***

Hari itu hari terakhir kita bertemu.

Waktu itu minuman di cangkir sudah aku minum tiga perempat. Sweet Disposition-nya The Temper Trap sedang dimainkan. Dan aku memberanikan diri untuk mengatakan apa yang aku rasakan sebelum cangkir kosong sepenuhnya.

Saat itu aku bilang kalau belakangan aku selalu menunggu kabar darimu. Tanpa disadari, kau datang membawa mimpi-mimpi. Namamu adalah kontak yang aku tunggu kehadirannya di layar handphoneku setiap harinya. Entah itu untuk mengajakmu jalan, berdiskusi soal fisika kuantum yang sangat aku gemari, wajah politikus siapa yang kamu benci hari itu, atau sekedar untuk meminta dibangunkan untuk memenuhi deadline pekerjaanku.

Aku bilang bahwa tanpa sadar aku begitu nyaman berada di dekatmu dan sedikit banyak ingin menjadikanmu pulang dari setiap perjalananku. Kamu tau kan? Home is where the heart is. Dan saat itu aku begitu yakin bahwa dirimu adalah rumah yang aku harapkan untuk menaungiku setelah ini.

Saat itu aku bilang bahwa tanpa sadar aku membayangkan masa depan yang ada kamu di dalamnya. Bagaimana nanti kita akan menikah dan punya banyak keseruan bersama dengan anak-anak kita.

Malam itu, aku mengakui bahwa aku bohong waktu bilang aku masih menantikan adik kelasku itu. Aku bohong waktu bilang masih merindukan perangainya yang menyenangkan. Aku bohong waktu bilang masih ingin menjalin cinta dengannya. Tidakkah kau lihat bagaimana kikuk menyergap ketika aku menyampaikan itu padamu? Oh demi Tuhan, aku yakin kau sadar. Waktu kamu bertanya apakah aku menyukaimu, aku menginjak rem mendadak sampai kemeja merahmu itu terkena tumpahan air mineral.  Dan jawaban-jawaban itu adalah yang terlintas pertama di kepalaku. Aku tidak pandai berbohong, Gadis.

Terlebih, ketika aku berbohong setiap kali aku menertawakan kita. Kau tau? Tawaku nyaring tapi sangat-sangat hambar. Aku tidak suka menjadi pusat perhatian teman-teman kita dan memilih untuk menertawakannya. Dan sekarang aku membenci sikapku yang begitu pecundang saat itu.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah 12 malam. Aku ingat betul, waktu itu Firehouse dengan I Live My Life For You-nya berputar mengiringi pernyataan-pernyataanku.

Aku membakar rokok terakhir malam itu dan menyeruput Espresso terakhir di cangkirku. Saat itu udara di kafe cukup dingin, namun berhasil membuat satu-dua titik keringat di dahiku. Aku menatapmu yang sedang menatap kuku-kuku jarimu. Semenit, dua menit, tiga menit, kamu diam. Entah bagaimana mengatakannya, tapi aku benar-benar menderita saat menantikan jawaban darimu.

Sudahkah aku merusak persabatan yang kita bangun?

Ketika kamu mengangkat wajah, senyuman itu adalah senyum termanis yang terakhir kali aku lihat. Sambil merapikan letak ponimu dan decak air mata di sudut mata, kamu bilang terima kasih. Kamu bilang terima kasih untuk keberanian dan kejujuran yang aku tuturkan. Katamu, waktu ini adalah waktu yang kamu tunggu-tunggu selama ini. Aku menyimpulkan senyum tipis kelegaan.

Dengan lancarnya kamu bercerita bagaimana kamu selalu bergegas membalas setiap apa-apa yang aku sampaikan dan berusaha menarik sedemikian rupa agar percakapan tidak habis karena membosankan. Bagaimana kamu menyebut namaku dalam doa-doa yang kamu langitkan. Bagaimana dengan sabarnya kamu mengelus dada setiap kali aku menceritakan perempuan-perempuan yang menarik perhatianku. Bagaimana kamu menahan rasa untuk tidak mengungkapkan perasaan ini kepada teman-temanmu karena takut hanya kamu yang merasa.

Oh, Gadis. Matamu begitu berbinar menceritakan semuanya. Dan hal itu membuatku merasa aku menjadi semakin bodoh di matamu.

Bowo si waitress datang bertanya apakah mau tambah pesanan dengan senyum sumringahnya itu. Aku bilang aku minta segelas air mineral dan kamu menggeleng sambil tersenyum kecut.

Setelah Bowo berlalu, kamu bercerita bagaimana kamu merasa cukup untuk semuanya sambil menggulung lengan kemejamu sampai ke siku.  

Aku bingung.

Kejadian di mobil saat itu, waktu kamu bertanya apakah aku menyukaimu,  adalah awal sekaligus akhir. Pertanyaan bercandamu saat itu adalah keberanian pertama yang kamu layangkan, akumu. Sesampainya di rumah, kamu berjanji untuk menyudahinya.  Bukan karena menyerah, tapi karena kamu memilih untuk mencintai kita sendirian saja. Bagaimana setelah hari itu kamu minta dikuatkan setiap kali menatap mataku. Menjaga diri untuk tidak lagi menumbuhkan harapan-harapan.     

Oh, Gadis. Demi Tuhan, aku begitu lemas mendengarnya.

Selanjutnya kamu bilang, tanpa sepengetahuanku, kamu mengurus studi lanjutan ke luar negeri di tempat yang kamu idam-idamkan. Dua detik kemudian kamu menelan ludah paksa. Lalu mohon pamit untuk menikah dengan teman kerjamu, Hendra.

Pupus-nya Dewa 19 mengalun dari speaker kafe. Sepertinya mereka semua berkomplot untuk semua drama ini.

Oh, Gadis. Aku tidak menyangka bahwa kamu menyimpan rasa dan rahasia begitu banyak di belakangku. Aku pikir selama ini hanya aku yang terlalu egois menyimpannya. Ternyata kamu lebih pintar menyembunyikan semua dariku. Sebegitu menyakitkankah kejadian di mobil saat itu? 

Lengkap sudah sesalku, Gadis. Kepalaku mendadak pening dan ada gerumulan gejolak di dalam perutku.

Tidak lama setelah itu, kamu izin untuk pamit pulang. Aku memaksa untuk mengantarkanmu ke rumah, tapi kamu menolakknya. Kamu bilang, Hendra akan menjemputmu dan kamu memohon agar aku berjanji untuk tidak mencari dan menghubungimu lagi. Lidahku kelu. Tapi entah mengapa, aku menunduk dan meng-iyakannya.

***

Bagaimana kabarmu sekarang, Gadis? Dari laman Facebookmu, aku lihat gadis kecilmu sedang belajar berjalan. Aku turut berbahagia.  Semoga kebahagiaan selalu menyertai hari-harimu.

Rokok ke tigaku sudah habis. Bowo sudah mulai menaikkan kursi-kursi kafe ke atas meja. Asap terakhir ini aku hembuskan paksa seiring dengan nafas dan beban yang ada di hatiku.

Ciuman perpisahan di kening saat kita terakhir bertemu waktu itu masih terasa sampai hari ini.  Aku minta maaf untuk semua keterlambatan, kebodohan, dan semua kemunafikan.

Tidakkah kamu tahu, Gadis? Pria itu tercipta untuk kuat, tapi entah kenapa hatinya begitu lemah.  Aku telah menemukan seorang perempuan yang melemahkanku, kamu. Satu paket beserta kehilangannya. 

Yang aku tahu, Gadis, rindu harus disampaikan. Yang tidak aku tahu, adakah cara lain untuk menyampaikannya selain berkencan dengan bayanganmu? Kalau merindukanmu adalah sebuah kesalahan, aku memilih untuk tidak lagi mengetahui kebenaran.

Ini sudah jam setengah satu pagi. I Miss You milik Blink 182 sedang dimainkan dan aku rasa aku harus pulang. Cangkirku sudah kosong, jalanan sepertinya juga. Lagi pula, aku masih punya malam minggu yang lain. 

Bye, Gadis.

Will you come home and stop this pain tonight? I miss you.

No comments: