March 22, 2021

Partner of Life

To my beloved, the one and only partner I choose to spend the rest of my life, a man who still believe his soul will forever be young, and a boy who suddenly become a best friend of our awesome child, Galih Permadi Putra. 

Happy 3rd Wedding Anniversary!


January 1, 2016

Untuk Kamu yang Suka Mengajak Saya Minum Kopi

Aku pernah mendengar hujan
Di gunung, di laut, di tengah hutan, dan di keramaian
Kesemuanya memiliki satu persamaan tunggal: datang untuk menyisakan kenangan

Kepada senja sering kali aku gantungkan harapan-harapan itu
Menulisnya satu per satu dan menorehkannya dengan warna-warna baru
Aku tau Dia akan menangkapnya lalu meninabobokan diriku dengan caraNya yang haru

Aku pernah mendengar bahwa Tuhan memegang doa-doa makhluk seperti kita di kolong-kolong langit
Lalu kemudian menukarkannya dengan entah apa ke pangkuan kita
Ada yang disyukuri, ada yang dimaki, dan tidak sedikit yang diusahakan kembali

Pernah pula aku mendengar bahwa Tuhan tidak selalu memberi apa-apa yang tidak dilangitkan
Tanpa perlu memberi kompromi pada waktu
Terjadi. Lalu terjadilah.

Dan kemudian kamu hadir di tengah musim kemarau yang panas dan kering
Di saat kemacetan membuat gerah telingaku
Di saat hiruk-pikuk menelan pahit dahaga
Di saat aku kehabisan warna dan tidak menggantungkan apa-apa

Kamu tidak akan bertahan, pikirku

Dan beberapa kali kemudian aku sadar. Aku salah. 

Hey, mari membuat hujan saat senja dengan kopi!

November 22, 2015

Pikiran-pikiran Mencret

Setahun ini gue sangat tidak produktif dalam menulis. Benar-benar tidak produktif. Tapi di penghujung tahun sebelum benar-benar berakhir gue mau menulis soal satu hal luar biasa yang terjadi di gue di tahun ini. Mungkin ini tulisan termanis yang pernah gue buat, karena gue gak pake mikir dan berimajinasi untuk nulis ini. 

I start to think that I’m in love with someone and this guy forced me to write more tonight. The worst thing about it is, I don’t believe in love anymore.

Sebut saja namanya Mencret. Why? Dia suka banget ngomong mencret, gak ngerti kenapa. Dari gue kenal beberapa tahun yang lalu udah gitu bentukannya. Mungkin laki-laki yang paling amburadul kalo ngomong ya Si Mencret ini. Gue kenal karena mau naik gunung dan setelahnya hal-hal berjalan normal seperti biasa. Komunikasi biasa, bales-balesan mention di Twitter, kadang suka curhat-curhat gak jelas, dll dll.

Gue lupa kapan gue mulai menjadi lebih intim sama Si Mencret ini. Tapi setiap dia curhat ke gue, bahasannya pasti gak jauh-jauh soal perempuan. Entah itu yang baru beberapa hari jadian tapi ceweknya minta putus karena gak disetujui orang tuanya, atau karena ceweknya minta kawin, atau yang paling gengges cewek terakhirnya yang ribut soal Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.

Pendek cerita gue mulai deket dan akhirnya deket beneran dan beneran deket. We’ve talk too much, about anything and everything.

Gue pernah memperingatkan dia buat jangan sering-sering setuju sama apa yang gue omongin, nanti bisa suka. See? I hate when I’m always right! Hahaha. Gue udah bilang ke dia jangan suka banget sama gue, gue jahat. Terus dia malah ngomong apalah-apalah itu. Gue gatau mau ngomong apalagi.

Gue suka waktu dia ngomong hal-hal tolol, apalagi kalo muka tololnya udah keluar. Gue gak mau menggantikan itu dengan apapun.

Setiap dia bilang sayang, gue seneng. Gue bilang kayak ada kupu-kupu di perut gue. Terus dia gak ngerti dong itu maksudnya apa. Gagal deh gue mau romantis padahal ngetiknya udah ngumpulin keberanian banget. Gengsi gue gede binggo lho, fyi aja.

Dan masalahnya adalah sekarang ini gue lagi gak percaya soal cinta, komitmen, dan omong kosong sejenisnya itu. Mungkin karena pengalaman percintaan sebelumnya gue mendapatkan porsi lengkap. Gue tau rasanya gimana sayang banget sama orang sampe beneran takut kehilangan sampe akhirnya gue tau gimana rasanya kehilangan orang yang gue sayang sekaligus kehilangan banyak berat badan karena itu. Kemudian pengalaman-pengalaman setelahnya yang tidak begitu mengenakkan ngebuat gue jadi gak mau lagi percaya sama orang lain. Gue udah terlalu banyak percaya ke orang dan orang-orang seenak jidat gak pernah mikirin perasaan gue.

Cinta adalah ilusi. Cinta itu omong kosong. Itu yang gue percaya hari ini. Sejauh lo nyaman, yaudah lo jalanin aja. Nyaman? Apasih nyaman itu. Terlalu absurd.

Yeaa you can see how desperate I am. I do believe in nothing.

Waktu dia megang tangan gue, gue mikir berapa banyak perempuan yang udah dia pegang sebelum gue. Waktu dia ngomong sayang, gue jelas bukan yang pertama. Waktu dia ngomong cuma gue, gue nganggep itu semua omong kosong.

Karenaaa… tipikal orang pedekate akan melakukan hal-hal seperti itu. Karena memang gitu siklusnya.

Gimana kalo suatu hari nanti gue akan bertingkah menyebalkan? Mungkin dia akan cerita ke temen perempuannya tentang betapa tololnya gue, dan mereka akan menertawakan gue.

Gimana kalo suatu hari nanti gue akan menelan omongan-omongan gue hari ini? Mungkin dia akan melihat sisi lain dari gue dan mungkin akan mulai menjauh dan naik gunung lagi buat menyendiri dan mulai berpikir apakah benar dia mengambil keputusan tepat untuk jalan sama gue?

Gimana kalo pada akhirnya gue jatuh hati dan ternyata dia akan melakukan hal yang sama seperti yang orang-orang udah lakuin ke gue? Suka-sukanya sendiri.

Gimana kalo…

Gimana kalo…

Gimana kalo…

There are so much “what if” in my fucking head.

Dan ketika gue udah mikir gitu gue jadi skeptis untuk semua hal yang udah dia lakuin. Setelahnya gue akan merasa sangat-sangat jahat. Gue lalu akan membandingkan apa yang udah dia lakuin ke gue dengan ide-ide buruk di kepala gue soal dia.

Hey babe, if you think that I never think about you, you were wrong. Completely wrong. Because the truth is, I can’t stop thinking about us. You can laugh for that.

Gue masih gak ngerti apa yang gue cari. Apa yang gue mau. Apa yang gue butuhin. 

Hah. Yaudahlah yaa. Gue juga gak akan ngerti ini akan kemana.

Mungkin suatu hari nanti dia bakal menemukan perempuan yang gak mikir mulu kayak gue atau gue akan ketemu sama laki-laki lain yang gak bisa gue over-thinking-in. Atau mungkin gue akan nyanyi “lucky I’m in love with my best friend” ke dia.

I dunno what will future brings for me. Let’s see!


June 26, 2015

19-06-07

Beberapa hari yang lalu saya tertawa terbahak-bahak ketika mengobrol di WhatsApp dengan seseorang yang spesial di masa lalu yang biasa kita sebut mantan. Di hari itu saya melihat kalender dan berusaha mengingat peristiwa apa yang terjadi. Lalu memori saya kembali ke delapan tahun silam. Di tanggal 19 bulan 6 tahun 2007 itu saya dan beliau pernah menjalin hubungan yang romantis.

Spontan saya langsung menghubunginya dan menanyakan apakah ia juga mengingat hal yang sama seperti saya. Katanya, hari itu adalah hari di mana pertanyaannya lewat telepon dijawab oleh saya lewat sms. Kami lalu membahas betapa seringnya kami bertengkar untuk hal-hal yang sepele seperti saya yang harus memanggilnya “yang” dan ia akan sangat marah kalau saya sudah mulai percakapan dengan “gue-elo”. Lalu dia akan sangat sebal kalau saya sudah mulai berbicara “terserah”. Kata-kata “tai” pertama kali dalam hidup saya pun keluar karena saya kesal setengah mati dibohongi hanya karena soal mainannya yang tidak sengaja saya rusakkan.

Kami pernah sama-sama menangis drama di motor setelah sebelumnya saya memutuskannya di warung mi ayam (padahal kejadian itu seingat saya terjadi di warung bubur). Percakapan lalu berlanjut ke “selingkuhannya” saat itu dan betapa saya masih kesal mampus kalo mengingatnya sekarang. Sampai pada akhirnya dia bertanya kenapa saya tidak pernah bercerita soal laki-laki kepadanya. Saya bilang saya masih takut, tidak seperti dia yang sudah merasakan sakitnya diselingkuhi sampai dua kali. Hahahaha! Gimana rasanya? :p

Senang rasanya bisa berbicara dengan bebas dengan mantan, mengenang masa lalu tanpa ada perasaan yang berlebihan. Di saat orang lain sibuk melebih-lebihkan mantan seolah dia adalah barang kadaluarsa yang haram untuk dikonsumsi, kami malah me-najis-kan diri kami sendiri. Kami merasa sama-sama tua, jijik dengan ketololan, drama romantis berlebihan, dan betapa menggelikannya kami berdua saat itu. Delapan tahun yang lalu.

Saya percaya, rasa bisa berubah tapi kenangan akan masa lalu tidak. Betapa kita berusaha sekuat tenaga untuk melupakan seseorang padahal sebetulnya kita tidak melakukan apa-apa. Alih-alih mengesampingkan perasaan, kita justru malah mengingat semuanya dengan baik dan menambah deretan penderitaan. Karena sejatinya, rasa sakit itu ada karena kita yang mengizinkannya. Berapa banyak pasangan yang pada akhirnya putus dan malah jadi bermusuhan dan saling menjelekkan satu sama lain? Dude please, grown up!

Dia bilang, dia belajar banyak dari saya. Katanya, saya adalah salah satu proses pendewasaan dirinya. Saya merasa seperti Celine (re: Julie Delpy di Before Sunset). Di film tersebut, Celine bercerita bahwa semua orang yang pernah menjadi kekasihnya akan menikah setelah putus dengannya dan mantan-mantannya tersebut akan sangat berterimakasih padanya karena telah mengajarkan apa itu cinta.

Saya mendadak melankolis dan dilemma. Dalam diri saya, saya begitu mendambakan hadirnya seseorang, cinta, semacam itu. Namun pada kenyataannya saya mendapat banyak kekecewaan dan pada akhirnya di sisi yang lain, saya tidak begitu percaya.

Saya membayangkan minum teh berdua dengan pasangan saya kelak di setiap pagi ketika berusia 50-an sambil bercumbu dan membahas bobroknya pemerintah. Di malam harinya kami akan sama-sama mengecup kelopak mata masing-masing dan betapa menginginkan pagi datang dan buru-buru kembali bangun untuk memastikan bahwa orang yang tidur bersama kita adalah orang  yang tepat untuk kita cintai. Di hari yang lain saya akan menitipkan anak-anak saya ke rumah orang tua saya karena akan merayakan ulang tahun pernikahan sambil naik gunung. Sementara itu di sisi yang berlawanan, saya memiliki pertanyaan-pertanyaan, apakah benar seseorang akan benar-benar mencintai pasangannya sampai akhir hayatnya tanpa pernah selingkuh di pikirannya sekalipun? Apakah bisa seseorang setia hanya satu orang saja? Apakah bisa seseorang cukup dengan tidur dengan yang itu-itu saja? Apakah mereka tidak risih melihat perut pasangannya akan menggelambir dan membayangkan orang lain yang lebih indah? Memang, kesempurnaan cinta terletak pada ketidaksempurnannya itu sendiri. Dan itulah yang menjadikannya berwarna. Tapi, ah, terlalu manis!

Mantan saya bilang dia menyesal karena telah meninggalkan luka. Menurut saya tidak. Tembok-tembok keraguan ini saya sendiri yang membuatnya. Dia secara kebetulan menjadi perantara. Kita ini seringkali melihat kesalahan orang lain untuk membenarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan diri kita. Kita sering merasa menjadi orang yang paling sok tahu, sok benar, sok paling penting, dan semua ke-sok-an lainnya. Mungkin jika kita melihat lebih dalam ke diri kita, kita akan sadar kenapa orang-orang di sekitar kita memperlakukan kita seperti itu. Dalam kasus ini, saya berharap terlalu banyak dan kecewa terlalu dalam. Dan saya sadar, saya juga membiarkan mantan saya menguasai banyak hal dalam diri saya saat itu sampai saya merasa seperti terdoktrinisasi. Mungkin kita sama-sama lupa, bahwa sepasang kekasih adalah dua individu yang berjalan bersama. Masing-masing punya sesuatu dalam dirinya yang sama-sama harus diperjuangkan. Bukan saling menguasai dan malah mengeliminasi yang lainnya.

Katanya, jangan pernah membuat marah orang yang sabar, kecewanya orang yang setia, dan murkanya orang yang suka tertawa. Tapi kami berdua pernah mengalami itu dan berhasil melewatinya. Saya pernah terluka, saya pernah sakit, saya pernah kecewa, tapi saya tidak pernah kehilangan diri saya, begitupun ia. Saya bangga karena seburuk apapun kenangan yang kami punya, kami tau bahwa hubungan harus tetap berjalan baik apapun itu namanya. Yang berlalu biarkanlah berlalu. Hidup terlalu singkat untuk membenahi kesalahan di masa depan.

Btw, selamat tanggal 19-06-07, wahai masa lalu! :))

May 14, 2015

Buah Kemiskinan

Langit saat itu berwarna kelabu. Gumpalan-gumpalan awan pucat berarak seolah menuju ke arah kami. Aku berdiri bersamanya dengan penuh ragu dan curiga. Tatapanku saling lempar antara bangunan di depanku dan benda yang berada di genggaman tanganku.  Dengan tanda tanya yang berdesakan memenuhi kepala, pada akhirnya kami memberanikan diri untuk memasuki bangunan tersebut.

MUSEUM KEMISKINAN


sebagai Bukti Bahwa Kemiskinan Pernah Hidup di Sini Lalu Tiada



~

Suasana kampungku memang tidak pernah terlalu ramai dan tidak juga terlalu sepi. Orang-orang kampung beramah-tamah sewajarnya. Kendaraan lewat bergantian secara teratur dan tidak ada yang pernah berani membunyikan klakson. Rumah-rumah berjejer rapi dengan halaman yang tamannya selalu dijaga dengan baik. Orang-orang di kampungku tau benar bagaimana menjaga keindahan.

Siang hari yang terik itu aku habiskan bersamanya dengan membaca buku di bawah pos jaga yang di sekelilingnya dirindangi oleh pohon-pohon. Satu-dua burung gereja bergantian hinggap di atas kabel tiang listrik. Kami menikmati keheningan siang itu dan tanpa disadari mengundang kantuk untuk hadir di antara kami. Sampai di suatu ketika Pak Budi datang dari kejauhan dengan langkah yang tergesa-gesa. Ia membawa tas besar yang kepenuhan dan terlihat menggembung tidak wajar di beberapa sisi. Sepatu bootnya yang berhak tebal itu mengusir burung-burung gereja di atasku dan gerak-geriknya berhasil mengusir rasa kantukku.

Langkah-langkah cepat Pak Budi kemudian membuatnya tersandung kerikil yang tidak dilihat mata kakinya dan dengan bantuan angin siang itu, tasnya kemudian juga jatuh dan menumpahkan seluruh isinya. Berbungkus-bungkus buah kemiskinan berserakan dan menggelinding satu persatu. Kami bergegas menghampirinya dan berinisiatif untuk membantunya dengan memunguti satu per satu buah kemiskinan. Sambil memasukkan buah-buah itu ke dalam tas, aku bertanya kepada Pak Budi mau dikemanakan buah-buah itu. Pak Budi bilang bahwa ia mendapat permintaan untuk menjual buah-buah itu ke kampung sebelah dengan harga yang tinggi. Pak Budi mengatakan bahwa ini proyek besar. Ia menamainya dengan ‘menjual peradaban’. Nama yang berlebihan, batinku.

Setelah semua beres Pak Budi mengucapkan terima kasih dan langsung cepat-cepat meninggalkan kami. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh dan beringsut kembali ke pos jaga. Sembari duduk di bibir pos jaga yang terbuat dari bambu itu aku berpaling ke arah pohon kemiskinan.

Mengingatnya aku menghela panjang nafasku

Buah kemiskinan adalah barang yang dapat dibeli dalam sekantong kresek hitam dengan harga yang murah. Pohonnya tumbuh besar tepat di jantung kampung kami. Dahan dan rantingnya kuat serta daunnya yang lebat selalu menjadi favorit kami untuk bersandar di bawahnya. Buahnya yang bulat ranum  berwarna merah sebesar bola kastil dan baunya yang harum selalu menggelitik siapapun yang lewat untuk memetiknya, entah itu untuk dikonsumsi atau dijual kembali.  Kebiasaan ini telah lama kami jalani, padahal para pendiri kampung terdahulu berpesan agar tidak mengganggu pohon kemiskinan bahkan kalau perlu pohon itu ditebang, dicerabut sampai ke akar-akarnya. Buahnya beracun dan akan membawa hama yang besar dan bisa menjadi malapetaka bagi kampung kami. Namun orang-orang di kampungku tidak peduli walaupun mengambil bagian dari pohon kemiskinan adalah sebuah tindakan ilegal. Tidak heran jika Pak Budi sangat bersemangat dan menyesakkan tasnya sebisa mungkin dengan buah miskin sebanyak-banyaknya. Buah yang biasanya dijual dengan harga murah ditawar dengan harga yang mahal. 

Ketika sore datang, sekonyong-konyong seorang pria berambut gondrong dengan pakaian lusuh berlari-lari mengitari pohon kemiskinan. Ia memperingatkan orang-orang kampung betapa berbahayanya pohon kemiskinan dengan histeris. Tidak hanya sampai di situ, pria tersebut kemudian menghampiri setiap rumah dan mengatakan hal yang sama. Hal ini terus berulang sampai fajar hampir tiba keesokan harinya dan tidak ada satupun warga kampung yang berhasil menghentikan pria tersebut. Karena merasa sangat terganggu, orang-orang kampung sepakat untuk membakar pria tersebut di pohon kemiskinan dengan posisi tangan dan mulut yang diikat dengan tali.

Arogansi orang-orang kampung yang merasa paling bertanggungjawab atas keberlangsungan hidup penduduk kampung membawa pria itu menemui ajalnya. Api kemudian menghanguskan pria tersebut dan menjadikannya abu. Menjelang siang api merambat dan mulai membakar daun serta buah kemiskinan. Asap yang ditimbulkannya lalu menuju langit dan membentur awan yang sedang cerah-cerahnya.

Menerima pesan tersebut langit murka. Ia berubah menjadi magenta raksasa yang bercahaya dan menurunkan hujan petir yang tak ada putus-putusnya. Petir menghabisi apa saja yang dilihatnya dan orang-orang kampung berlarian ketakutan. Buah-buah kemiskinan yang jatuh dan menggelinding membakar apapun yang disentuhnya. Langit dan kemiskinan saling bekerja sama mengenyahkan isi kampung. Mereka bahu membahu menghabiskan apa yang sudah dilanggar selama bertahun-tahun.  Orang-orang kampung masuk ke dalam rumah namun rumah tak mampu lagi memberikan perlindungan. 

Aku dan dia ketakutan.

Kami lalu berlari masuk ke dalam ruang bawah tanah yang sudah kami buat beberapa waktu sebelumnya karena kami sadar bahwa kami butuh tempat yang aman untuk bersembunyi dari kebengisan yang terjadi di atas. Sementara itu dari bawah aku mendengar orang-orang kampung berlomba saling keras berteriak. Ada yang memaki, memohon ampun, dan menangis pasrah. Namun satu yang aku paham, mereka semua pada akhirnya yakin bahwa kemiskinan memang beracun!


“Aku tidak pernah memakanmu, buah kemiskinan! Tolong jangan bunuh aku,” isak seorang warga kampung.
“Tapi kamu melihat dan membiarkannya!”
“Aku tidak punya cara lain untuk hidup wahai kemiskinan.”
“Maka kamu lebih baik mati.”

Kami memberanikan diri untuk keluar setelah suasana kembali menjadi hening setelah entah berapa lama. Aku lalu melihat kampungku mati, kehilangan nafasnya. Langit sudah kembali jernih, namun di bawahnya mayat berserakan, serta rumah-rumah yang berubah menjadi remah-remah kekacauan. Sementara itu pohon kemiskinan masih berdiri tegaknya dengan hanya menyisakan satu buah kemiskinan tanpa daun dan dahan di batangnya.

Langit sore itu berwarna kelabu. Gumpalan-gumpalan awan pucat berarak seolah menuju ke arah kami. Aku berdiri bersamanya dengan penuh ragu dan curiga. Tatapanku saling lempar antara bangunan di depanku dan benda yang berada di genggaman tanganku.  Dengan tanda tanya yang berdesakan memenuhi kepala, pada akhirnya kami memberanikan diri untuk memasuki bangunan tersebut.

MUSEUM KEMISKINAN
sebagai Bukti Bahwa Kemiskinan Pernah Hidup di Sini Lalu Tiada

Museum itu kami buat dari tulang orang-orang kampung yang berserakan. Benar kata pendiri kampung dulu, kami seharusnya mencabut kemiskinan sampai ke akar-akarnya. Kami terlalu munafik untuk menjadi manusia modern yang berlaga seperti malaikat dan malah menghabiskan waktu untuk mengabaikan nilai-nilai yang memang seharusnya kami jaga.

Tiba-tiba saja aku dikagetkan dengan rasa panas di sakuku. Buah kemiskinan itu masih hidup! Aku sontak mengeluarkannya dari saku dan melemparnya begitu saja. Buah kemiskinan menatap kami dengan amarah yang begitu membara.

“Aku tidak pernah memakan dan menjualmu, buah kemiskinan. Jangan bunuh kami…”
“Tapi kamu melihat dan membiarkannya. Maka lebih baik kamu mati!”

Sadar waktu kami sudah semakin dekat dan tidak ada waktu untuk lari, aku menatapnya dan memberinya senyuman terbaik yang aku miliki. 

“Hey, aku selalu nyaman bila sedang bersamamu! Harusnya kita ikut berteriak bersama pemuda yang dibakar itu dan tidak membiarkan kemiskinan tumbuh dan menggerogoti kita.”

Aku menatapnya sekali lagi, sepatu karet Converse yang aku beli dari kerjaku memotong dahan-dahan kemiskinan yang mati.