February 19, 2014

Kita Yang (Mungkin) Tidak Pernah Usai

Hai, kamu. Ketemu lagi.

Masih teringat dengan jelas bagaimana pertemuan kita yang sangat tidak disengaja di jalan pulang di trek Mahameru. Di gunung yang sama-sama kita torehkan namanya di bagian terpenting dalam hidup kita.

Aku masih ingat bagaimana kamu dengan bodohnya mengajakku berkenalan di trek turun lalu kemudian meminta Nutri Sari jeruk di botol minumku yang rasanya tidak enak karena bercampur pasir. Kemudian dengan lugunya meminta nomer telfonku dan memulai dengan basa-basi yang basi. Lucunya, aku tertawa. Bukan karena jenakanya ceritamu, tapi karena percakapan kita yang sangat-sangat basi isinya. 

Suatu hari aku pernah membayangkan kita berjalan dari Sudirman menuju Thamrin menikmati malam dan cahaya dari gedung-gedung lalu berhenti sejenak di Bunderan HI sambil menyesapi kehidupan.

Seminggu kemudian tanpa diundang kamu datang di pintu rumahku dan meminjam aku dari ayah-ibuku, ingin mengajakku berbahagia semalam katamu. Hahaha bodoh. Dan kenyataannya, kamu benar-benar membuat bayanganku saat itu menjadi malam yang begitu membahagiakan.


Kamu tau? Untuk kesekian kalinya aku merasa kalau kita itu agak sedikit aneh. Di saat yang lain pergi memburu pasir putih di Bali atau panorama keindahan Raja Ampat, kamu malah mengajakku membeli tiket kereta ekonomi ke Bogor hanya sekedar untuk melihat kuburan Belanda. Demi Tuhan, itu kita lakukan bukan karena mencari kesederhanaan kebahagiaan, melainkan karena kita memang tidak punya apa-apa lagi. Atau ketika yang lain meraya-riakan malam pergantian tahun dengan bakar-bakaran, kamu malah mengajakku ke atas gedung di dekat Bunderan HI. Katamu, kita berdua perlu ada di atas orang lain di tengah keriuhan dan kemeriahan.

Pada akhirnya kita memang dipertemukan untuk saling menyelami perbedaan dan persamaan kita masing-masing. Aku masih ingat bagaimana dengan bodohnya kita bertengkar hebat di Kota Tua karena aku ngotot mau jalan kaki dan kamu lebih ngotot lagi mau naik sepeda. Atau ketika kita sama-sama berlari sekencang-kencangnya di pinggir pantai di Ancol untuk melihat ujung matahari tenggelam. Kita akan terus bertengkar untuk hal-hal sepele dan beberapa saat kemudian akan menertawakan apa yang kita ributkan. Kita akan berbahagia untuk hal kecil yang remeh untuk kemudian kita syukuri keberadaannya.


Sayang, ketika kamu memberikan gambaran kehidupan masa depan untuk dilewati bersamamu, aku tau aku tidak perlu berpikir lagi untuk menyetujuinya. Aku tau kamu tidak sedang berjanji. Aku tau kamu sedang membuatnya nyata.


Aku lupa pernah mengatakan ini sebelumnya atau tidak. Bahwasannya, aku mencintaimu setiap kali senyummu menyapa tatapan mataku. Setiap kali tanganmu mengesampingkan hal-hal yang sedang aku risaukan. Setiap kali kita ada. Entah berapa banyak rasa terima kasih yang aku langitkan untuk setiap kesempatan yang telah diberikan.


Hari ini aku sedang merindukanmu. Merindukan kita. Aku sedang berusaha menuntun tanganku untuk tidak lagi menyeka air mata yang turun tanpa diminta. Mungkin disana, kamu juga sedang membantu membasuh rindu di kedua pundakku lalu memeluknya dengan hangat dari belakang dan meminta kepada Tuhan dari dekat untuk selalu menjagaku. Seperti biasa.

Aku mencintaimu. Semoga kamu tenang bersama Dia yang lebih kamu cintai dari apapun.

No comments: