April 30, 2015

Cicilan Motor yang Berbuah Filosofi yang (Sok) Bijak

Sebagai mantan mahasiswa psikologi, gue ngerasa sadar tahap perkembangan psikologis gue berantakan banget. Di usia gue yang masuk ke dalam kategori dewasa awal, gue sudah mengalami post-power syndrome yang harusnya dialami oleh orang-orang jompo. Di umur segini pun isu soal mencari tujuan hidup dan jati diri baru kebentuk padahal itu seharusnya terjadi di usia remaja. Namun karena gue tipe orang yang sangat berusaha menghargai proses, gue menganggap itu semua sebagai bentuk pembelajaran.

Sekarang gue kerja sebagai salah satu staff Human Resources di sebuah perusahan riset dengan konsentrasi ke rekrutmen.

Ketika lulus kuliah, gue janji gue gak mau ikutan kayak orang-orang kebanyakan, kalo anak psikologi itu kerjanya jadi HR. Gue juga sangat bangga sama diri gue karena gak ikut-ikutan temen-temen gue ke job fair, nyari kerjaan, apply di jobstreet sampai khatam list perusahaan dan hal-hal bodoh lainnya. Gue lebih milih buat kerja freelance, tidak terikat, dan kalau bisa harus sesuai sama passion gue. Dengan pengalaman kerja dan skill yang gue punya, gue yakin banget gue gak akan kesulitan nyari kerja. Alhamdulillah gue benar soal itu. Setiap posisi yang gue lamar, kebanyakan gue dapet dan kalo gak cocok, gue gak ragu buat ngelepehin itu kerjaan. Karena gue yakin kalo gue bisa dapet yang lebih baik dan gue tau maunya gue apa. Soal ini, gue yakin gue gak salah.

Lalu tibalah saat itu. Saat di mana motor gue mati total dan harus ganti baru dan gue harus membayar cicilan motor dan mengambil alih beberapa subsidi ekonomi keluarga yang menjadi tanggung jawab gue. Uang dari hasil kerja serabutan gue yang kadang-berlebihan-kadang-kurang-banget ternyata gak cukup untuk meng-handle itu semua dan tuntutan dari mana-mana yang hampir setiap harinya menanyakan apa pekerjaan gue dan jawaban gue yang asal tidak pernah memuaskan mereka. Gue juga heran kenapa sih harus peduli amat sama omongan orang.

Pada akhirnya di tahun 2015 gue membuat resolusi, gue harus dapet kerja supaya bisa naik gunung abis lebaran! See?! Tujuan gue jelas banget! Hahahaha! Alasan ke dua adalah, cicilan motor gue harus dibayar, gue harus beli beras ,dan hura-hura harus jalan terus! :p

Lebih dari itu semua gue sedang menantang diri gue, bisa gak sih gue hidup teratur dengan gaji sebagai reward dan punishment yang jelas. Gimana masuk ke iklim perkantoran yang gue mentah-mentahin karena sarat akan kapitalisme yang udah gue maki abis-abisan. Gimana gue men-challenge diri gue buat bikin perubahan di sebuah sistem dari hasil perjalanan gue selama ini. Gimana gue memetakan diri gue di tempat yang jelas bukan comfort-zone gue. Gimana gue pada akhirnya harus menunduk hormat pada kebutuhan dan tuntutan yang dengan cantiknya membungkukkan paksa keegoisan dan idealisme gue.

Gue yakin, di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Gue udah mengajukan proposal gue dengan jelas ke Sang Maha Sponsor, dan gue yakin di-approve. Dan… tadaaa...., satu setengah bulan setelah resolusi 2015 gue buat, gue dapet kerja. Setelah proses nyari kerja yang males-malesan dan wawancara yang gue jawab dengan bodoh dan asal, gue keterima!

Membiasakan diri untuk mengerjakan hal yang tidak sesuai dengan kita adalah sebuah hal yang sulit. Apalagi sampai memaksa diri untuk membuat hal tersebut nyaman dengan diri kita. Itu sama halnya seperti ketika lo gak suka sama cowok tapi akhirnya nerima itu cowok karena itu cowok mau bunuh diri. Bawaannya empet terus jadinya! -_-

Lalu pada akhirnya gue harus berperang dengan diri gue sendiri. 

Nah itu lah yang terjadi di gue. Di hari ke dua gue kerja, gue mau resign. Di hari ke delapan, gue galau teriak-teriak ke temen-temen gue kalo gue tersiksa batiniah kerja kantoran, dan itu terus berlangsung sampai hari ini. Tapi, selama dua bulan kerja, banyak terjadi perubahan dalam diri gue. Mau tau apa aja? Mari kita urai bersama satu per satu.
  1. Gue udah bisa bikin alis.
    Sebagai seorang gadis yang tumbuh besar di abad masa kini, entah kenapa membuat alis yang simetris nan rapih dan menarik adalah sebuah kewajiban. Gue pengen banget ngajak duduk bareng orang yang menciptakan konsep cantik yang seperti ini terus gue nasehatin supaya tidak membuat hajat hidup orang banyak susah. Men, tiap pagi, minimal 20 menit waktu gue abis buat ngegambar alis! Dan alis gue akan luntur setelah wudhu shalat zhuhur. Such a useless thingy. Pft...
  2. Gue jadi gak bisa bangun pagi.
    Gue gak tau hal heboh apa yang gue lakuin di kantor. Yang jelas kalo udah di rumah dan tidur, gue udah gak inget apa-apa lagi dan rasanya jam tidur itu selalu kurang. Padahal dulu kalo abis begadang sekalipun, abis shalat shubuh, gue masih kuat buat gak tidur lagi besokannya. Sekarang, jangankan begadang, buat bangun shalat shubuh aja nyokap harus teriak-teriak terus abis itu gue tidur lagi dan bangun di jam mendekati masuk kantor. Iya, dari awal masuk sampe sekarang gue selalu telat.
  3. Bye-bye tidur siang.
    Ini hal yang paling gue rindukan ketika menjadi seorang pengangguran. Bobo siang dan bobo sore. Gak perlu pembahasan soal ini, kalian tau sendiri kan gimana nikmatnya dua hal ini? Nomnomnom~
  4. Berhasil membuka tantangan-tantangan selanjutnya.
    Ketika baru awal masuk gue berusaha buat suka sama kerjaan, tapi hasilnya nihil karena gue emang gak cocok. Gue menganut sistem asal kelar dan kalo udah kelar gue minta nambah dan malah lebih banyak yang gak gue selesaiin. Gue membenarkan hal-hal itu terjadi karena, yaa...bukan passion

    Berhubung gue orang yang LOC-nya internal banget, jadinya semua hal gue refleksi ke diri gue lagi. Gue selalu menyalahkan diri gue yang susah beradaptasi untuk hal yang gak gue suka. Gue jadi suka nanya apa sih sebenernya yang gue mau, apa sih yang harusnya gue lakuin, gue harusnya tuh ngapain sih di sini, gue kok buang-buang waktu banget ngerjain yang gak gue suka, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang senantiasa menemani hari-hari kegalauan gue.

    Lalu pada akhirnya gue belajar lebih jauh untuk mengeksplor diri gue. Ternyata gue emang punya passion di HR. Pekerjaan yang berusaha gue sayangi ini ribet, makanya gue gak suka. Untuk itulah gue di situ, membuat sesuatunya lebih mudah. Pekerjaan gue tidak memenuhi SOP seperti yang bangku kuliah ajarkan. Maka dari itu gue ada di situ, untuk menegakkan standar-standar itu. 
    Perusahaan menggaji kecil dan tidak sesuai UMR, hati gue capek ngeliat ketikadilan jelas-jelas di depan mata gue. Untuk itu gue ada. Memastikan orang-orang itu mendapatkan sesuai dengan haknya.
    Ke depannya gue jadi kayak jelas melihat pemetaan karir gue. Gue pengen berkarir di HR sampai memahami seluk beluk masalah yang terjadi sampai di level paling bawah. Ke depannya gue mau belajar di level menengah, lalu sampai di level yang paling atas. Ketika gue udah punya semua ilmunya, gue pengen nerusin buat jadi konsultan yang berpengalaman.

    Kemudian gue membuat tantangan baru. Apakah gue bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan gue tadi? Gue yakin gue bisa. Gak usah ngomong soal gaji. Cukup aja udah Alhamdulillah. Ini bukan lagi soal kerja dan bayar cicilan motor atau beli beras. Lebih dari itu, gue bekerja di sini adalah untuk kerja itu sendiri.
    I wish I can prove my words!


Kembali pada topik yang diangkat di paragraf pertama.

Soal kemunduran. Yep, saya menemukan diri saya di siang-siang bolong yang penuh tekanan dari sana-sini. Di usia yang ke dua puluh tiga tahun ini akhirnya gue menemukan apa keinginan gue. Mungkin gue bisa resign sekarang terus lanjut kerja yang sesuai passion gue, tapi setelah gue telusuri, gue ternyata tidak mau. 

Siapa sih yang gak mau kerja sesuai passion dengan gaji yang besar? Semua pasti mau. Tapi sekarang gue sedang ingin menyelesaikan apa yang gue mulai. Gue mau mengondisikan diri gue di tempat yang sangat gue usahakan untuk gue suka. Gue mau membuat perubahan di sebuah sistem yang sudah berjalan. Gue ingin membuktikan bahwa perusahaan meng-hire gue karena gue punya kelebihan di bidang di mana gue di gaji--rekrutmen. Bukan karena gue harus melaksanakan pekerjaan dengan benar, tapi lebih ke bagaimana gue melakukan hal-hal benar yang seharusnya dilaksanakan.

Soal post-power syndrome. Gue ngerasa gue lebih berjaya ketika dahulu kala. Gue lebih berani, lebih nekat, lebih berhasil melakukan banyak pencampaian dalam bentuk real. Tapi sekarang apa? Untuk bangun pagi aja susehnye minta ampun. Nah sekarang mungkin waktunya gue buat mengembalikan masa-masa kejayaan gue itu, tapi dalam scope lain. Dulu gue masih egois, sekarang juga sih hehehe. Gue gak peduli orang lain mau gimana, yang jelas keinginan gue harus tercapai. Tapi sekarang gak bisa gitu. Gue harus menyesuaikan kapasitas gue untuk banyak kepala. Contoh kecil hal yang ingin gue lakukan; gue mau perusahaan memakai sistem rekrutmen dan development yang akan gue buat. Anggap aja ini kegilaan selanjutnya yang harus gue kerjakan dan harus selesai sebelum gue resign nanti. :p

Waktu gue minta sama Allah mau kerja terus dikasih kemudahan, gue yakin Dia gak main-main. Semua pasti ada hikmahnya. Gue yakin banget. Dan sekarang, tugas gue adalah bergerak. Manakah yang lebih indah pada akhirnya nanti? Yang mau untuk ditempa atau bermanja diri? Mungkin materi bisa dijadikan ukuran kesuksesan dari seseorang, tapi buat gue, kemenangan ketika bisa menyelesaikan target-target yang dibuat, yang sifatnya lebih personal, itu bahagianya luar biasa. Karena bahagia yang sederhana sudah terlalu mainstream!



Btw, apakah tujuan hidup gue di HR ke depannya yang gue buat di tulisan ini karena lingkungan yang menghamili pemikiran gue supaya mikir ke sana? Hmmm.....


No comments: