Di luar hujan turun mau-tidak-mau.
Sebentar mendung, kemudian deras, tidak lama kemudian berhenti, dan kembali
terik, lalu gerimis yang tidak berkesudahan berlangsung sampai malam. Biasanya
Lika akan menepi ke jendela kamarnya yang terletak di lantai dua, menggulung
lengan kemejanya yang kebesaran sampai siku sambil mengecap cokelat panas
perlahan-lahan. Lika benci hujan dan memilih untuk menontonnya saja sambil membaca pesan apa yang turut disampaikan lewat bulir-bulirnya.
Hey there Delilah what's in like
in New York City. I've been thousand miles away but girl, tonight you look so
pretty. Yes, you do….
Lika mengambil handphonenya yang berdering.
Ia meletakkan earphone dan menutup laptopnya seketika, kemudian berjalan dari
meja laptopnya menuju kasur. Lika lalu meraih guling dan menyelimuti badannya
dengan selimut.
“Halo..."
“Hai. Ganggu gak?” Sapa orang di seberang.
“Enggak. Tumben telfon," jawab Lika. Ia meletakkan kacamatanya di pinggir tempat tidur dan memijat punggung hidungnya.
“Kamu apa kabar?” tanya orang di seberang.
“Baik. Kamu sendiri?”
“Baik. Kaku banget sih kita! Hahahaha.....” kemudian mereka berdua tertawa bodoh.
“Iya gak seru,” sadar dengan nadanya yang canggung, ia mulai mencari topik pembicaraan baru. “Eh iya kamu ditanyain sama ibu mi ayam depan rumahku. Dia kangen kamu katanya.”
“Masa?”
“Iya, katanya cuma kamu yang hobi makan mi ayam tapi banyakkan daun bawangnya daripada mi nya.”
“Aku jadi inget waktu itu dia pernah hampir ngisi mangkukku pake kuah sama daun bawang aja.”
“Iya. Kamu sih aneh,” Lika diam sejenak, “kita terakhir telfonan musim hujan tahun lalu, ya? Udah lama juga gak denger kamu curhat. Hehehe.”
“Aku kangen kamu, Ka,” hening kemudian datang di antara mereka berdua. “Di sini hujan dan kamu satu-satunya hal yang aku khawatirin selain genteng bocor kamarku. Kamu gak habis main hujan lagi kan?”
“Makasih lho udah nyamain aku sama genteng bocor. Btw, Aku juga kangen kamu, Ngga,” Lika menelan paksa ludahnya, “udah enggak, kok. Aku udah gak suka hujan sekarang. Aku gak mau manjain diri aku buat inget kamu terus, lagian juga kan kita udah janji buat sama-sama ngelupain.”
Namanya Angga. Mereka pernah sangat
dekat beberapa tahun lalu sebelum akhirnya memutuskan untuk menjalani hidup
masing-masing. Angga masih ingat dengan jelas bagaimana hujan banyak membawa
cerita untuk mereka.
"Ngga... Ngga.. cium deh bau debu yang kena air hujan, ih gila ini enak banget!" Angga tidak begitu antusias tadinya, lalu pada suatu hari Lika mengatakan, “jika hujan datang, jangan berlari dan menepi, cobalah sesekali lambatkan langkah dan kemudian resapi. Hujan punya caranya sendiri untuk menggairahkan hal-hal yang mati.” Setelah itu Angga tidak pernah membiarkan dirinya kering saat hujan. Lika benar, aroma hujan punya daya magisnya sendiri. Ia merasa entah bagaimana ada yang kembali hidup setelah diguyur air hujan.
"Ngga... Ngga.. cium deh bau debu yang kena air hujan, ih gila ini enak banget!" Angga tidak begitu antusias tadinya, lalu pada suatu hari Lika mengatakan, “jika hujan datang, jangan berlari dan menepi, cobalah sesekali lambatkan langkah dan kemudian resapi. Hujan punya caranya sendiri untuk menggairahkan hal-hal yang mati.” Setelah itu Angga tidak pernah membiarkan dirinya kering saat hujan. Lika benar, aroma hujan punya daya magisnya sendiri. Ia merasa entah bagaimana ada yang kembali hidup setelah diguyur air hujan.
Jika hujan tiba, mereka berdua
pergi hujan-hujanan mencari warung bubur kacang hijau. Setelah itu mereka akan
naik motor berdua tanpa jas hujan. Di motor, mereka bernyanyi sambil berteriak-teriak.
Angga biasanya menjadi vokal utama dan Lika menjadi backsound nya. Lika pernah
bilang, hujan dan jalanan adalah kombinasi panggung yang sempurna. Hanya petir
yang mampu menghentikan kegilaan mereka berdua.
“Maafin aku, Ka,” lirih Angga.
“Udah gak apa-apa, gak usah dibahas. Itu udah hampir dua tahun yang lalu. Aku udah berteman baik lho dengan kemarau sekarang. Aku salah, hujan ternyata hanya menghidupkan kenangan. Sementara harapan-harapan biasanya tumbuh di kemarau yang kering.”
“Aku masih sayang kamu, Ka.”
“Angga, udah ya. Kita udah sepakat buat gak ngebahas ini lagi, kan? Ayolah, waktu berlalu. Eh gimana kamu sama Enda?”
“Aku udah putus sama dia, Ka. Sebenernya aku udah jadian lagi sama adik kelasku, Dias. Tapi kami terancam bubar.”
“Lho kenapa?”
“Kutukan kamu ke aku manjur.”
“Hah, kutukan? Kutukan apa?” tanya Lika kaget.
“Waktu itu, 23 Mei 2012, waktu kamu telfon aku sambil nangis-nangis, waktu kamu numpahin semua kekesalan kamu, waktu kamu akhirnya tau aku cheating di belakang kamu, waktu sebelum kamu banting dan nutup telfonnya, kamu ngomong, “semoga kamu ngerasain apa yang aku rasain!”, aku beneran ngerasain sekarang dan tau gimana rasanya.”
“Kamu diselingkuhin ceritanya?”
“Iya, Ka. Udah dua kali sama yang sekarang.”
“Hahahaha….. Berarti bener ya kalo ada yang bilang doa orang teraniaya itu diijabah sama Allah.” Tawa Lika meledak sejadi-jadinya. Bukan untuk menghakimi, tapi karena begitu menggelikan mendengar apa yang Angga katakan barusan.
“Iya, Ka, kamu bener. Aku minta maaf banget buat kelakuan aku waktu itu terus tolong cabut kutukan kamu, Ka. Aku tau sekarang rasanya gimana dan udah mau hidup lempeng-lempeng aja.” Angga memohon, dan dari suaranya terdengar begitu memelas.
“Sumpah, Ngga, aku gak tau. Hahahaha… tapi kalo emang beneran kejadian ke kamu, yaudah. Officially, hari ini aku cabut semua kutukan aku.” jawab Lika sambil terkekeh-kekeh.
“Kamu kok seneng banget sih dengernya?” Angga kesal mendengar Lika yang tertawa terpingkal-pingkal.
“Ya abis lucu aja ternyata omongan aku itu bertuah. Kamu sih dulu macem-macem, aku sumpahin, kan!”
“Ketawa kamu masih lucu, Ka.” Suasana kembali dingin.
“Angga, udah ya. Mending kamu urus urusan kamu dulu sama siapa tadi namanya?”
“Dias,” jawab Angga singkat.
“Iya, sama Dias.”
“Urusanku sama dia udah selesai, Ka. Urusan kita yang belum selesai.”
“Aku gak mau lagi sama kamu,” tegas Lika.
“Tapi aku masih sayang sama kamu. Di luar hujan, Ka. Ayo kita main hujan lagi.”
“Aku juga. Tapi aku gak mau.”
“Kenapa?”
“Selingkuh itu penyakit akut. Sekali selingkuh pasti ada selingkuh ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Lagi pula, aku udah bilang kan tadi, aku udah gak suka hujan.”
“Aku khilaf waktu itu. Iya aku tau aku salah, kasih aku waktu lagi, Ka.”
“Aku udah maafin kamu, tapi untuk ngasih kesempatan lagi, maaf aku gak bisa.”
“Aku mau serius sama kamu, Ka. Kita udah jalan hampir lima tahun, lho. Kalo kamu masih inget, minggu depan harusnya hari jadi kita yang ke tujuh. Semoga kamu gak lupa sama rencana jangka panjang kita. Izinin aku sekali lagi buat bikin babak baru buat kehidupan kita, kasih kesempatan aku buat memperbaiki semua yang salah di hubungan kemarin. Aku udah nyoba nyari penggantinya kamu, udah dua orang bahkan, and it doesn’t work. I need you, Ka. Alih-alih nyari orang yang mirip kamu, aku malah sakit hati terus-terusan.”
“Angga, maaf, aku gak bisa dan udah gak mau lagi ngejalanin hubungan sama kamu. Masalah sakit hati aku dan ngobatinnya gimana itu urusan aku. Sorry to say, but you just somebody that I used to know.”
“Gitu ya? Aku berharap aku bisa nungguin kamu sampe kamu berubah pikiran, Ka.”
“Semoga enggak. Wish you luck, Ngga. Aku udah nyabut kutukan aku, kok. Semoga di hubungan yang lain lagi kamu baik-baik aja. Hehehe……”
“You too. Semoga sama kamu, Ka. Aku udah punya jas hujan sekarang, kita bisa hujan-hujanan lagi, dan kamu gak perlu pusing setelahnya,” suara Angga terdengar begitu antusias.
“Ngga, udah,” jawab Lika kembali tegas.
“Iya, Ka,” Angga diam sesaat, “selamat mencintai kemarau, Pluviophile.”
Lika kemudian menutup handphonenya dan kemudian memandang ke arah jendela. Ia menarik selimut sampai menutupi
seluruh tubuhnya. “Aku masih mencintai hujan, dan akan selalu,” gumamnya lirih.
No comments:
Post a Comment